BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Perkembangan Ekonomi
Islam menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah
Islam, perkembangan Ekonomi Islam yang telah ada sejak tahun 600M kurang begitu
dikenal masyarakat. Ekonomi Islam kurang mendapat perhatian yang baik, sebab
masyarakat tidak mendapatkan informasi yang memadai.
Pemikiran Ekonomi Islam
diawali sejak Muhammad SAW ditunjuk sebagai seorang Rosul. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan
Rosululloh SAW menjadikan pedoman oleh para Khalifah sebagai penggantinya dalam
memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Qur’an dan Al-Hadist digunakan sebagai
dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya
dalam menata kehidupan ekonomi negara.
Para ahli telah banyak
mendefinisikan tentang apayang dimaksud dengan ekonomi islam. Seperti Ibnu Taimiyah dan Abu
Ishaq Al-Syatibi berbagai Argumen ini meskipun saling berbeda formulasi kalimatnya,
tetapi mengandung pemahaman. Pada dasarnya suatu ilmu pengetahuan yang
berupaya memandang, meninjau, meneliti yang pada akhirnya menyimpulkan dan
menyalasaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara islami
merupakan bagian dari definisi ekonomika islam itu sendiri. Yang dimaksud
dengan cara-cara islami disini ialah metode-metode yang didasarkan atas ajaran
agama islam. Menurut pengertian seperti ini, maka istilah yang juga sering digunakan
adalah ekonomika islam.
Penegasan yang diberikan oleh beberapa ahli,
bahwa ruang lingkup dari ekonomika islam adalah masyarakat muslim atau
komunitas negara Muslim itu sendiri. Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi
dari masyarakat atau Negara muslim di mana nilai-nilai ajaran islam dapat diaplikasikan. Ilmu ekonomi islam adalah bagaimana islam memberikan
pandangan dan solusi atas berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi umat secara
umum.
B.
Rumusan Masalah
1. Seperti apakah biografi Ibnu Taimiyah Itu ?
2. Bagaimana pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah Itu ?
3.
Seperti apakah biografi
Abu Ishaq Al – Syatibi itu ?
4.
Bagaimana pemikiran ekonomi Abu Ishaq Al-Syatibi Itu
?
C.
Tujuan
Tujuan dalam pembelajaran ini adalah agar para
mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikan konsep ekonomi menurut Ibnu Taimiyah dan
Abu Ishaq Al Syatibi dalam kegiatan ekonomi yang dilakukannya sehari-hari.
Selain itu juga dapat mengajarkan kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga
dapat menjaga kestabilan ekonomi dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. IBNU TAIMIYAH
1. Biografi Ibnu Taimiyah
Ibnu taimiyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir
dikota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul awwal 661 H). Ia berasal
dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan
ulama besar mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.[1]
Berkat kecerdasan dan kejeniusannya, pada usia yang sangat muda Ibnu
Taimiyah telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir,
hadits, fiqih, matematika dan filsafat, serta
menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya.
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata.
Beliau juga turut serta dalam dunia politik dan urusan public. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu
Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawaiannya dalam menulis dan berpidato,
tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga dimedan perang.
Penghormatan yang besar yang diberikan
masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah
membuat sebagian orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan
dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah
menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para
penentangnya.
Selama dalam tahanan Ibnu Taimiyah tidak pernah
berhenti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya
untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan
menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada
tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qaidah 728 H) setelah mengalami perlakuan
yang sangat kasar selama lima bulan.
2. Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak
diambil dari berbagai karya tulisnya,
antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa
ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam. Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak
pada wilayah Makro Ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar,
regulasi harga, uang dan kebijakan moneter.[2]
a. Mekanisme harga, mekanisme pasar dan regulasi harga
1) Mekanisme Harga
Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik menarik
antara konsumen dan produsen baik dari pasar output (barang) ataupun input
(faktor-faktor produksi). Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang
menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu.[3]
Ada dua tema yang sering kali ditemukan dalam pembahasan Ibnu Taimiyah
tentang masalah harga, yakni kompensasi yang setara/adil (‘iwad al-mitsl)
dan harga yang setara/adil (tsaman al-mitsl). Dia berkata; “Kompensasi
yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah
esensi dari keadilan (nafs al-‘adl)”. [4]
a) ‘Iwad al-mitsl adalah penggantian
sepadan yang merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adat
kebiasaan. Kompensasi yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan, disinilah
esensi dari keadilan.
b) Tsaman al-mitsl adalah nilai harga
dimana orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal
yang sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang-barang yang sejenis
lainnya di tempat dan waktu tertentu.
Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah berhubungan dengan prinsip la
dharar yakni tidak melukai dan tidak merugikan orang lain. Maka dengan berbuat
adil akan mencegah terjadinya kezaliman. Konsep Ibnu Taimiyah tentang
kompensasi yang adil dan harga yang adil, memiliki dasar pengertian yang
berbeda.
Dalam mendefinisikan “kompensasin yang setara, Ibnu Taimiyah berkata: “yang
dimaksud kesetaraan adalah kuantitas dari objek khusus dalam penggunaan secara
umum (‘urf). Itu juga berkait dengan nilai dasar (rate/si’r) dan kebiasaan”.
Lebih dari itu ia menambahkan: “evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang
adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang
lain yang setara (ekuvalen)”. Inilah benar-benar adil dan benar-benar
diterima dalam penggunaannya.
Permasalahan kompensasi yang adil, muncul ketika membongkar masalah moral
dan kewajiban hukum (berkaitan dengan kepemilikan barang). Adapun
prinsip-prinsip itu berkaitan dengan kasus-kasus berikut:
a) Ketika seseorang bertanggung jawab menyebabkan terluka atau rusaknya orang
lain (nifus), hak milik (amwal), keperawanan dan keuntungan (manafi)
b) Ketika seseorang mempunyai kewajiban membayar kembali barang atau profit
yang setara atau membayar ganti rugi atas terlukanya salah satu bagian dari
anggota tubuhnya
c) Ketika seseorang dipertanyakan telah membuat kontrak tidak sah ataupun
kontrak yang sah pada peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan maupun hak
milik.
Jadi yang melatarbelakangi adanya konsep kompensasi yang adil tersebut
disebabkan oleh adanya praktek ketidakadilan yang terjadi pada masa itu, dimana
kesetaraan terhadap ganti rugi tidak diberlakukan sebagaimana mestinya, maka dengan
melihat kondisi tersebut, Ibnu Taimiyah memberikan perbedaan yang signfikan
antara kompensasi yang adil dengan harga yang adil. Dan agaknya, konsep
kompensasi yang adil ini merupakan sebuah pedoman bagi masyarakat dan para
hakim dalam melaksanakan tugasnya dipengadilan.
Ibu Taimiyah membedakan antara soal legal-etik dengan aspek ekonomi dari
harga yang adil. Ia menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika
menelaah dari sisi legal etik dan harga yang setara ketika meninjau dari
aspek ekonomi. Karena merupakan sewbuah konsep hukum dan moral, Ibnu Taimiyah
mengemukakan konsep kompensasi yang setara berdasarkan aturan moral yang
sangat tinggi.[5]
Jelas adanya, bahwa kompensasi yang adil muncul dari adat kebiasaan
terhadap nilai harga sauatu benda. Sedangkan harga yang adil timbul karena
adanya aktivitas permintaan dan penawaran terhadap nilai harga benda. Adapun
persamaannya, sama-sama memakai konsep keadilan, yang mana harus didasarkan
pada kesepakatan dan persetujuan antara kedua belah pihak dengan tidak adanya
unsur merugikan pihak lain.
2) Mekanisme pasar
Pasar dalam pengertian ilmu ekonomi adalah pertemuan antara permintaan dan
penawaran. Dalam pengertian ini, pasar bersifat interaktif, bukan fisik. Adapun
mekanisme pasar adalah proser penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan
permintaan dan penawaran. Pertemuan antara permintaan (demand) dan
penawaran (supply) dinamakan equilibrium price (harga seimbang).
Ibnu taimiyah juga memiliki pandangan tentang pasar bebas, dimana suatu
harga dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Ia mengatakan; “naik
turunnya harga tak selalu berkait dengan penguasaan (zulm) yang dilakukan oleh
seseorang. Sesekali alasannya adalah karena adanya kekurangan dalam produksi
atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jadi, jika kebutuhan
terhadap jumlah barang meningkat, sementara kemampuan menyediakannya menurun,
harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika kemampuan penyediaan
barang meningkat dan permintaan menurun, harga akan turun. Kelangkaan dan
kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan
dengan sebab yang tidak melibatkan ketidakadilan. Atau sesekali bisa juga
disebabkan oleh ketidakadilan. Maha besar Allah, yang menciptakan kemauan pada
hati manusia”. [6]
Dari pernyatan diatas terdapat indikasi kenaikan harga yang terjadi
disebabkan oleh perbuatan ketidakadilan atau zulm para penjual.
Perbuatan ini disebut manipulasi yang mendorong terjadinya ketidak sempurnaan
pasar. Tetapi pernyataan ini tidak bisa disamakan dalam segala kondisi, karena
bisa saja alasan naik dan turunnya harga disebabkan oleh kekuatan pasar. Tampaknya ada kebiasaan yang terjadi di zaman Ibnu
Taimiyah, kenaikan harga terjadi akibat ketidakadilan atau malapraktek dari
para penjual, sehingga kata yang digunakan adalah zulm, yang berarti
pelanggaran hukum atau ketidakadilan.
Ibnu taimiyah menyebutkan dua sumber persediaan, yakni produksi lokal dan
import barang-barang yang diminta (ma yukhlaq aw yujlab min dzalik al-mal
al-matlub). Untuk menggambarkan permintaan terhadap barang tertentu, ia
mengguanakan istilah raghbah fi al-syai yang berarti hasrat terhadap
sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu faktor terpenting dalam
permintaan, faktor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu
Taimiyah. Perubahan dalam supply digambarkannya sebagai kenaikan atau
penurunan dalam persediaan barang-barang, yang disebabkan oleh dua faktor,
yakni produksi lokal dan impor.
Pernyataan Ibnu Taimiyah diatas menunjuk pada apa yang kita kenal
sekarang sebagai perubahan fungsi penawaran dan permintaan, yakni ketika
terjadi peningkatan permintaan pada harga yang sama dan penurunan pada harga
yang sama atau, sebaliknya, penurunan permintaan pada harga yang sama dan
pertambahan persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi penurunan
persediaan disertai dengan kenaikan permintaan, harga-harga dipastikan
akan mengalami kenaikan, dan begitu pula sebaliknya.[7]
Namun demikian, kedua perubahan tersebut tidak selamanya beriringan. Ketika
permintaan meningkat sementara persediaan tetap, harga-harga akan mengalami
kenaikan. Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Apabila orang-orang menjual barang dagangannya dengan
cara yang dapat diterima secara umum tanpa disertai dengan kezaliman dan
harga-harga mengalami kenaikan sebagai konsekuensi dari penurunan jumlah barang
(qillah al-syai), atau peningkatan jumlah penduduk
(katsrah al-khalq), hal ini disebabkan oleh Allah SWT”.[8]
Pernyataan Ibnu Taimiyah diatas tampaknya menggambarkan perubahan secara
terpisah. Penurunan
barang dengan kata lain adalah jatuhya penawaran. Sedangkan meningkatnya penduduk akan menyebabkan
terjadinya peningkatan permintaan, karena itu bisa dikatakan sebagai naiknya
permintaan. Naiknya harga karena jatuhnya supply
atau naiknya permintaan, dalam kasus itu dikarakteristikkan karena Allah SWT,
mengindikasikan bahwa mekanisme pasar itu merupakan kondisi alamiah yang
impersonal.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa factor yang
memengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu :
a) Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap berbagai
jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah.
b) Jumlah para peminat (tullab) terhadap suatu barang.
c) Lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau
kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan.
d) Kualitas pembeli jika pembeli adalah seorang
yang kaya dan terpercaya dalam membayar utang,harga yang diberikan lebih
rendah.
e) Jenis uang yang digunakan dalam transaksi.
f) Tujuan transaksi yng menghendaki adanya
kepemilikan resiprokal di antara kedua belah pihak
g) Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual.
3) Regulasi harga
Setelah menguraikan secara panjang lebar tentang
konsep harga yang adil dan mekanisme pasar, Ibnu Taimiyah melanjutkan
pembahasan dengan pemaparan secara detail mengenai konsep kebijakan
pengendalian harga oleh pemerintah. seperti yang akan terlihat , tujuan regulasi
harga adalah untuk menegakan keadilan
serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan
harga,yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan
harga yang adil dan sah menurut hukum.penetapan harga yang tidak adil dan cacat
hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga
terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan
demand.
a) Pasar yang tidak sempurna
Di samping dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah
merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga
pada saat ketidaksempurnaan melanda pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual
(arbab al-sila`) menghentikan penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga
yang lebih tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat
bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta
untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari pasar yang tidak sempurna
adalah adanya monopoli terhadap makanan dan barang-barang kebutuhan dasar
lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus menetapkan harga (qimah
al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang monopolis jangan
dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena akan menentukan
harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.
b) Musyawarah untuk Menetapkan Harga
Sebelum menerapkan kebijakan penetapan harga,
terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait.
Secara jelas, ia memaparkan kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang
sewenang-wenang yang tidak akan memperoleh dukungan luas, seperti timbulnya
pasar gelap atau manipulasi kualitas tingkat barang yang dijual pada tingkat
harga yang ditetapkan. Berbagai bahaya ini dapat direduksi, bahkan dihilangkan,
apabila harga-harga ditetapkan melalui proses musyawarah dan dengan menciptakan rasa tanggung jawab moral serta
dedikasi terhadap kepentingan publik.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang regulasi harga ini juga berlaku terhadap
berbagai faktor produksi lainnya. Seperti yang telah disinggung jasa
mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya atau terjadi
ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja, pemerintah harus menetapkan upah
para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini adalah untuk melindungi para
majikan dan para pekerja dari aksi saling mengeksploitasi diantara mereka.
b. Uang dan Kebijakan Moneter
1) Karakteristik dan Fungsi Uang
Secara khusus Ibnu Taimiyah menyebutkan dua utama fingsi uang
yaitu sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang
berbeda. Ia menyatakan,“Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu
uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang
dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan
uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Berdasarkan
pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan
uang, karena hal ini berarti mengalihkan fungsi uang dari tujuan sebenarnya. Apabia uang dipertukarkan dengan uang yang lain,
pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud) dan tanpa
penundaan (hulul). Dengan cara ini, seseorang dapat mempergunakan uang sebagai
sarana untuk memperoleh berbagai kebutuhannya.
2) Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya
penurunan nilai mata uang dan percetakan mata uang yang sangat banyak. Ia
menyatakan,
Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang
selain dari emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas
transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu
Taimiyah memiliki beberapa pemikiran tentang hubungan antara jumlahh mata uang,
total volume transaksi dan tingkat harga. Pernyataanya tentang volume fulus
harus sesuai dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi adalah untuk
menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai intrinsik mata uang,
misalnya nilai logam, harus sesuai dengan daya beli di pasar sehingga tdak
seorang pun, termasuk penguasa, dapat mengambil untung dengan melebur uang
tersebut dan menjual dalam bentuk logam atau mengubah logam tersebut menjadi
koin dan memasukkannya dalam peredaram mata uang.
3) Mata Uang yang Buruk Akan Menyngkirkan Mata Uang
yang Baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang
berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari
peredaran. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut:
“Apabila penguasa membatalkan
pengggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi
masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena
jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena
menghilanhkan nlai tinggi yang semuka mereka miliki. Lebih daripada itu,
apabila nilai intrisik mata uang tersebut berbeda, hal iniakan menjadi sebuah
sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk
dan menukarnya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawannya
kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut
untuk dibawa lagi kedaerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat
akan menjadi hancur.
Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang terjadi atas
masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah trlanjur
memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi
sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak
memiliki nilai yang sama dibanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran mata uang
yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk
barang-barang mereka.[9]
B.
Abu Ishaq Al – Syatibi (1388 M)
1.
Biografi
Al – Syatibi
yang bernama lengkap Abu Ishaq Al – Syatibi Bin Musa Bin Muhammad Al Lakhmi Al
– Gharnati Al – Syatibi merupakan salah seorang cendikiawan Muslim yang belum
banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Beliau berasal dari suku Arab
Lakhmi. Nama Al - Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah
(Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.
2.
Pemikiran
Ekonomi Al-Syatibi
a.
Konsep
Maqasid Syari’ah
Sebagai sumber agama Islam, Al-Qur’an mengendung berbagai ajaran. Ulama
membagi kandungan Al-Qur’an dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlaq, dan
syari’ah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan
etika dan syari’ah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal
(perkataan) dan af’al (perbuatan). Dalam syari’ah ,sistermatika hukum Islam
dibagi menjadi dua hal, yakni ibadah
(habl min Allah) dan muamalah (habl
min al-nas).
Didalam kerangka ini , Al-Syatibi mengemukakan konsep maqasid al-syari’ah. Secara bahasa , maqasid al-syari’ah terdiri dari dua
kata, yakni maqasid dan al-syari’ah berarti jalan menuju sumber
air, dapat dikatakan jalan kearah sumber pokok kehidupan.[10]
Menurut istilah Al-Syatibi mwnyatakan, “Sesungguhnya
syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia didunia dan diakhirat.”
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan Syari’ah
menurut al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Dan iapun mengatakan bahwa
tidak satupun hukum yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, diartikan
sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan
manusia, perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualitasnya, dalam pengertian mutlaknya.
Kewajiban-kewajiban
dalam syaria’ah menyangkut perlindungan maqasid al-syari’ah yang pada
gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Al-syatibi menjelaskan
bahwa syari’ah berurusan dengan perlindungan mashalih, syaria’ah mengambil
berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun dengan cara
preventif, seperti syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur
apapun yang secara actual potensial merusak mashalih.
1)
Pembagian Maqasid Al-Syari’ah
Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila
lima unsure pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Beliau membagi maqasid menjadi tiga
tingkatan, yaitu Dharuriyat, Hajiyat,
dan Tahsiniyat.[11]
a) Dhururiyat
Jenis maqasid ini merupakan kemestian dan lasndasan dalam
menegakkan kesejahteraan manusiadidunia dan diakhirat yang mencakup
pemeliharaan lima unsure pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Pemelihaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsure pokok
tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat
merusak.[12]
b)
Hajiyat
Maqasid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan
kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsure
pokok kehidupan manusia.
c)
Tahsiniyat
Tujuan masaqid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan
yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan
manusia ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai
kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias
kehidupan manusia. [13]
b. Kolerasi Antara Dhururiyat, Hajiyat, dan
Tahsiniyat
Dari hasil penelaahannya secara mendalam, Al-Syatibi menyimpulkan
korelasi Dhururiyat, Hajiyat sebagai
berikut :
1) Maqasid Dhururiyat, merupakan dasar bagi maqasid hajiyat dan
maqasid tahsiniyat.
2)
Kerusakan
maqasid dhururiyat akan membawa kerusakan bagi maqasid hajiyat dan maqasid
tahsiniyat.
3)
Sebaliknya,
kerusakan pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat tidak dapat merusak
maqasid dhururiyat.
4)
kerusakan
pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat yang bersifat absolute terkadang
dapat merusak maqasid dhururiyat.
5)
Pemeliharaan
maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqasid
dhururiyat secara tepat.
Apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan
lima unsure pokok secarasempurna, ketiga tingkat maqasid tersebut tidak dapat
dipisahkan. Menurut al-Syatibi, tingkat hajiyat menyempurnakan tingkat
dhururiyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurnaan bagi tingkat hajiyat,
sedangkan dhururiyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.[14]
Berkenaan dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa
tidak terwujud aspek dhururiyat dapat merusak kehidupan manusai didunia dan
diakhirat secarakeseluruhan. Pengabdian terhadap aspek hajiyat tidak sampai
merusak keberadaan lima unsure pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi
manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabdian terhadap
aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak
sempurna. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang
bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqasid yang
lebih tinggi (tharuriyat dan hajiyat).
3.
Beberapa
Pandangan Al-Syatibi Di Bidang Ekonomi
a.
Objek
Kepemilikan
Al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak
kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat
hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan
pengggunaannya tidak bisa dimilki oleh seorang pun. Ia membedakan dua macam air,
yaitu air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikannya, seperti
sungai dan oase dan air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan,
seperti air yang dibeli atau termasuk
bagian dari sebidang tanah milik individu. Ia menyatakan bahwa tidak ada hak
kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan
dam.[15]
b.
Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari
sudut pandang maslahah (kepentingan Umum). Dari pendapat terdahulu, seperti
Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum
secara esensial adalah tanggungjawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu
melaksanakan tanggungjawab, masyarakat bisa mengalihkannya kepada baitul maal
serta menyumbangkan sebagai kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh
karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya,
sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.[16]
4.
Teori
kesejahtraan (Wellfare) Al-Syatibi
Dari konsep
maqasid al-syari’ah, bahwa syari’ah menginginkan setiap individu memperhatikan
kesejahteraan. Al-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan
tujuan syari’ah. Manusia produk, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan
kemaslahatan seperti didenifisikan syari’ah harus diikuti sebagai kewajiban
agama untuk memperolehkebaikan didunia dan diakhirat. Seluruh aktivitas ekonomi
yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan
(needs).
Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian adalah tujuan aktivitas
ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan adalah kewajiban agama. Manusia
berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Problematika
ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfillment
needs) dengan sumber daya alam yang tersedia.
Ilmu manajemen kontemporer, konsep maqasid al-syari’ah mempunyai
relevasi yang begitu erat dengan konsep motivasi, seperti konsep motivasi lahir
seiring dengan munculnya persoalan ”mengapa” seseorang berperilaku. Motivasi
didenifisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri
manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan, dan sebagainya.
Dikaitkan dengan konsep maqasid al-syari’at, dalam pandangan Islam, motivasi
manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan dalam
arti memperoleh kemaslahatan hidu didunia dan diakhirat.
Seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat
suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Motivasi
meliputi usaha, ketekunan, dan tujuan.
Menurut Maslow, seluruh kebutuhan belum terpenuhi padawaktu yang
bersamaan, kebutuhan yang mendasar menjadi prioritas.
Seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih
tinggi jika kebutuhan dasarnya terpenuhi. Berdasarkan konsep hierarchy of needs, bahwa garis hirarki
berdasarkan skala prioritasnya
terdiri dari :
a.
Kebutuhan
fisiologi (physiological needs), mencakup kebutuhan dasar manusia seperti,
makan dan minum. Tidak terpenuhi dasar ini akan menjadi priorite manusia dan mengessampingkan
seluruh kebutuhan hidup yang lainnya.
b.
Kebutuhan
keamanan (safety needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan
fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
c.
Kebutuhan
social (social needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih saying, dan
persahabatan. Jika tidak terpenuhi mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
d.
Kebutuhan
akan penghargaan (esteem needs), kebutuhan terhadap penghormatan dan pengakuan
diri. Kebutuhan ini akan mempengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang.
e.
Kebutuhan
aktualisasi diri (self-actualization needs), kebutuhan memberdayakan seluruh
potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini yang paling tinggi.
Dalam
kebutuhan managemen, kebutuhan-kebutuhan oleh Maslow dapatdiaplikasiklan:
1)
Pemenuhan
kebutuhan fisiologi dalam pemberian upah atau gaji yang adil dan lingkungan
kerja yang nyaman.
2)
Pemenuhan
kebutuhan keamanan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerjadan lingkungan
kerja yang aman.
3)
Pemenuhan
kebutuhan social dalam hal dorongan terhadap kerjasama, stabilitas kelompok dan
kesempatan berinteraksi social.
4)
Pemenuhan
kebutuhan akan penghargaan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan,
signifikansi aktivitas pekerjaan dan pengakuan public terhadap performance yang
baik.
5)
Pemenuhan
kebutuhan aktualisasi diri dalam hal pilihan kreativitas dan tantangan
pekerjaan.
Berbagai
tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow sepenuhnya terakomodasi dalam
konsep Maqasid Al-Syari’ah. Konsep yang dikemukakan Al-Syatibi mempunyaio
keunggulan kompratif yang signifikan yakni menempatkan agama
sebagai factor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia. Agama merupakan
fitrah manusia dan menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat
manusia didunia.
Perspektif
Islam, berpijak pada doktrin keagamaan menyatakan pemenuhan kebutuhan hidup
manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan didunia dan diakhirat merupakan
bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi
dan bekerja keras dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.[17]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian
makalah di atas, dapat kita simpulkan beberapa pemikiran Ibnu Taimiyah dalam
perkembangan ekonomi. Antara lain mengenai harga, beliau menyatakan bahwa yaitu kompensasi yang setara (‘iwad al-mithl) dan
harga yang setara (thaman al-mithl). Dia berkata: “kompensasi yang
setara akan diukur dan di taksir oleh hal-hal yang setara dan itulah esensi
dari keadilan (nafs al-‘adl). Dimana pun, ia membedakan antara dua jenis
harga: harga yang tak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dia
mempertimbangkan harga yang setara itu sebagai harga yang adil. Jadi, dua kata,
“adil” dan “setara” digunakan saling mengganti. Tentang uang bliau menyatakan bahwa fungsi
utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk
memperlancar pertukaran barang.
Sedangkan pemikiran Abu
Ishaq Al-Syatibi ada beberapa konsep yang dibahas seperti Maqasid
Syari’ah dan juga pandangan ekonomi Abu
Ishaq Al-Syatibi yaitu Objek Kepemilikan, Al-Syatibi mengakui hak milik
individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya
yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak, Pajak dalam pandangan
Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah
(kepentingan Umum), Al-Syatibi juga mengemukakan bahwa kesejahteraan merupakan
tujuan dadi kegiatan ekonomi.
B.
Saran
Berdasarkan uraian diatas maka kami memberi saran kepada mahasiswa
agar dapat memahai dan mengamalkan atas apa yang didapatkan dari pemakalah
kelompok kami. Khususnya bagi kelompok kami agar bisa memberi penjelasan
terhadap makalh ini dan selalu berusaha dalam berbagai hal.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Azwar karim, 2006, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam,
Euis Amalia,2005, Jakarta, Pustaka Asatruss, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam.
Fazlurrahman, 1984, Bandung, Penerbit Pustaka , Islam.
[1] Adiwarman Azwar karim,
sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
2006), Ed. 3., hlm. 351.
[3] Euis Amalia, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), Cet.1, hlm 167.
[10]
Fazlurrahman, Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h.140.
[11] Ibid.
[15] Ibid.,
h.38.
[16] Ibid.,
h.138-139.
0 komentar:
Posting Komentar