Senin, 25 Mei 2015

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH DAN ABU ISHAQ AL – SYATIBI



BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar belakang
Perkembangan Ekonomi Islam menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah Islam, perkembangan Ekonomi Islam yang telah ada sejak tahun 600M kurang begitu dikenal masyarakat. Ekonomi Islam kurang mendapat perhatian yang baik, sebab masyarakat tidak mendapatkan informasi yang memadai.
Pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak Muhammad SAW ditunjuk sebagai seorang Rosul. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan Rosululloh SAW menjadikan pedoman oleh para Khalifah sebagai penggantinya dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Qur’an dan Al-Hadist digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata kehidupan ekonomi negara.
Para  ahli  telah banyak mendefinisikan tentang apayang dimaksud dengan ekonomi islam. Seperti Ibnu Taimiyah dan Abu Ishaq Al-Syatibi berbagai Argumen ini meskipun saling berbeda formulasi kalimatnya, tetapi mengandung pemahaman. Pada dasarnya suatu ilmu pengetahuan yang berupaya memandang, meninjau, meneliti yang pada akhirnya menyimpulkan dan menyalasaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara islami merupakan bagian dari definisi ekonomika islam itu sendiri. Yang dimaksud dengan cara-cara islami disini ialah metode-metode yang didasarkan atas ajaran agama islam. Menurut pengertian seperti ini, maka istilah yang juga sering digunakan adalah ekonomika islam.
Penegasan yang diberikan oleh beberapa ahli, bahwa ruang lingkup dari ekonomika islam adalah masyarakat muslim atau komunitas negara Muslim itu sendiri. Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi dari masyarakat atau Negara muslim di mana nilai-nilai ajaran islam dapat diaplikasikan. Ilmu ekonomi islam adalah bagaimana islam memberikan pandangan dan solusi atas berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi umat secara umum.

B.            Rumusan Masalah
1.      Seperti apakah biografi Ibnu Taimiyah Itu ?
2.      Bagaimana pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah Itu ?
3.      Seperti apakah biografi Abu Ishaq Al – Syatibi itu ?
4.      Bagaimana pemikiran ekonomi Abu Ishaq Al-Syatibi Itu ?

C.           Tujuan
Tujuan dalam pembelajaran ini adalah agar para mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikan konsep ekonomi menurut Ibnu Taimiyah dan Abu Ishaq Al Syatibi dalam kegiatan ekonomi yang dilakukannya sehari-hari. Selain itu juga dapat mengajarkan kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga dapat menjaga kestabilan ekonomi dunia. 
  

  
BAB II
PEMBAHASAN
 
A.    IBNU TAIMIYAH
1.      Biografi Ibnu Taimiyah
Ibnu taimiyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir dikota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.[1]
Berkat kecerdasan dan kejeniusannya, pada usia yang sangat muda Ibnu Taimiyah telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih, matematika dan filsafat, serta  menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya.
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Beliau juga turut serta dalam dunia politik dan urusan public. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawaiannya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga dimedan perang.
Penghormatan yang besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah  membuat sebagian orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Selama dalam tahanan Ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qaidah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.

2.      Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah
                        Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya  tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam. Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah Makro Ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan kebijakan moneter.[2]

a.      Mekanisme harga, mekanisme pasar dan regulasi harga
1)      Mekanisme Harga
Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik menarik antara konsumen dan produsen baik dari pasar output (barang) ataupun input (faktor-faktor produksi). Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu.[3]
Ada dua tema yang sering kali ditemukan dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga, yakni kompensasi yang setara/adil (‘iwad al-mitsl) dan harga yang setara/adil (tsaman al-mitsl). Dia berkata; “Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-‘adl)”. [4]
a)      ‘Iwad al-mitsl adalah penggantian sepadan yang merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan, disinilah esensi dari keadilan.


b)      Tsaman al-mitsl adalah nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu.
Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah berhubungan dengan prinsip la dharar yakni tidak melukai dan tidak merugikan orang lain. Maka dengan berbuat adil akan mencegah terjadinya kezaliman. Konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil dan harga yang adil, memiliki dasar pengertian yang berbeda.
Dalam mendefinisikan “kompensasin yang setara, Ibnu Taimiyah berkata: “yang dimaksud kesetaraan adalah kuantitas dari objek khusus dalam penggunaan secara umum (‘urf). Itu juga berkait dengan nilai dasar (rate/si’r) dan kebiasaan”. Lebih dari itu ia menambahkan: “evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara (ekuvalen)”. Inilah benar-benar adil dan benar-benar diterima dalam penggunaannya.
Permasalahan kompensasi yang adil, muncul ketika membongkar masalah moral dan kewajiban hukum (berkaitan dengan kepemilikan barang). Adapun prinsip-prinsip itu berkaitan dengan kasus-kasus berikut:
a)      Ketika seseorang bertanggung jawab menyebabkan terluka atau rusaknya orang lain (nifus), hak milik (amwal), keperawanan dan keuntungan (manafi)
b)      Ketika seseorang mempunyai kewajiban membayar kembali barang atau profit yang setara atau membayar ganti rugi atas terlukanya salah satu bagian dari anggota tubuhnya
c)      Ketika seseorang dipertanyakan telah membuat kontrak tidak sah ataupun kontrak yang sah pada peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan maupun hak milik.
Jadi yang melatarbelakangi adanya konsep kompensasi yang adil tersebut disebabkan oleh adanya praktek ketidakadilan yang terjadi pada masa itu, dimana kesetaraan terhadap ganti rugi tidak diberlakukan sebagaimana mestinya, maka dengan melihat kondisi tersebut, Ibnu Taimiyah memberikan perbedaan yang signfikan antara kompensasi yang adil dengan harga yang adil. Dan agaknya, konsep kompensasi yang adil ini merupakan sebuah pedoman bagi masyarakat dan para hakim dalam melaksanakan tugasnya dipengadilan.
Ibu Taimiyah membedakan antara soal legal-etik dengan aspek ekonomi dari harga yang adil. Ia menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal etik dan harga yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Karena merupakan sewbuah konsep hukum dan moral, Ibnu Taimiyah mengemukakan konsep kompensasi yang setara berdasarkan aturan moral yang sangat tinggi.[5]
Jelas adanya, bahwa kompensasi yang adil muncul dari adat kebiasaan terhadap nilai harga sauatu benda. Sedangkan harga yang adil timbul karena adanya aktivitas permintaan dan penawaran terhadap nilai harga benda. Adapun persamaannya, sama-sama memakai konsep keadilan, yang mana harus didasarkan pada kesepakatan dan persetujuan antara kedua belah pihak dengan tidak adanya unsur merugikan pihak lain.

2)      Mekanisme pasar
Pasar dalam pengertian ilmu ekonomi adalah pertemuan antara permintaan dan penawaran. Dalam pengertian ini, pasar bersifat interaktif, bukan fisik. Adapun mekanisme pasar adalah proser penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Pertemuan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) dinamakan equilibrium price (harga seimbang).
Ibnu taimiyah juga memiliki pandangan tentang pasar bebas, dimana suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Ia mengatakan; “naik turunnya harga tak selalu berkait dengan penguasaan (zulm) yang dilakukan oleh seseorang. Sesekali alasannya adalah karena adanya kekurangan dalam produksi atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jadi, jika kebutuhan terhadap jumlah barang meningkat, sementara kemampuan menyediakannya menurun, harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika kemampuan penyediaan barang meningkat dan permintaan menurun, harga akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tidak melibatkan ketidakadilan. Atau sesekali bisa juga disebabkan oleh ketidakadilan. Maha besar Allah, yang menciptakan kemauan pada hati manusia”. [6]
Dari pernyatan diatas terdapat indikasi kenaikan harga yang terjadi disebabkan oleh perbuatan ketidakadilan atau zulm para penjual. Perbuatan ini disebut manipulasi yang mendorong terjadinya ketidak sempurnaan pasar. Tetapi pernyataan ini tidak bisa disamakan dalam segala kondisi, karena bisa saja alasan naik dan turunnya harga disebabkan oleh kekuatan pasar. Tampaknya ada kebiasaan yang terjadi di zaman Ibnu Taimiyah, kenaikan harga terjadi akibat ketidakadilan atau malapraktek dari para penjual, sehingga kata yang digunakan adalah zulm, yang berarti pelanggaran hukum atau ketidakadilan.
Ibnu taimiyah menyebutkan dua sumber persediaan, yakni produksi lokal dan import barang-barang yang diminta (ma yukhlaq aw yujlab min dzalik al-mal al-matlub). Untuk menggambarkan permintaan terhadap barang tertentu, ia mengguanakan istilah raghbah fi al-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu faktor terpenting dalam permintaan, faktor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah. Perubahan dalam supply digambarkannya sebagai kenaikan atau penurunan dalam persediaan barang-barang, yang disebabkan oleh dua faktor, yakni produksi lokal dan impor.
Pernyataan Ibnu Taimiyah  diatas menunjuk pada apa yang kita kenal sekarang sebagai perubahan fungsi penawaran dan permintaan, yakni ketika terjadi peningkatan permintaan pada harga yang sama dan penurunan pada harga yang sama atau, sebaliknya, penurunan permintaan pada harga yang sama dan pertambahan persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi penurunan persediaan disertai dengan kenaikan permintaan, harga-harga  dipastikan akan mengalami kenaikan, dan begitu pula sebaliknya.[7]
Namun demikian, kedua perubahan tersebut tidak selamanya beriringan. Ketika permintaan meningkat sementara persediaan tetap, harga-harga akan mengalami kenaikan. Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Apabila orang-orang menjual barang dagangannya dengan cara yang dapat diterima secara umum tanpa disertai dengan kezaliman dan harga-harga mengalami kenaikan sebagai konsekuensi dari penurunan jumlah barang (qillah al-syai), atau peningkatan jumlah penduduk (katsrah al-khalq), hal ini disebabkan oleh Allah SWT”.[8]
Pernyataan Ibnu Taimiyah diatas tampaknya menggambarkan perubahan secara terpisah. Penurunan barang dengan kata lain adalah jatuhya penawaran. Sedangkan meningkatnya penduduk akan menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan, karena itu bisa dikatakan sebagai naiknya permintaan. Naiknya harga karena jatuhnya supply atau naiknya permintaan, dalam kasus itu dikarakteristikkan karena Allah SWT, mengindikasikan bahwa mekanisme pasar itu merupakan kondisi alamiah yang impersonal.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa factor yang memengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu :
a)      Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah.
b)      Jumlah para peminat (tullab) terhadap suatu barang.
c)      Lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan.
d)     Kualitas pembeli jika pembeli adalah seorang yang kaya dan terpercaya dalam membayar utang,harga yang diberikan lebih rendah.
e)      Jenis uang yang digunakan dalam transaksi.
f)       Tujuan transaksi yng menghendaki adanya kepemilikan resiprokal di antara kedua belah pihak
g)      Besar kecilnya biaya yang harus  dikeluarkan oleh produsen atau penjual.



3)      Regulasi harga
Setelah menguraikan secara panjang lebar tentang konsep harga yang adil dan mekanisme pasar, Ibnu Taimiyah melanjutkan pembahasan dengan pemaparan secara detail mengenai konsep kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah. seperti yang akan terlihat , tujuan regulasi harga adalah untuk  menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga,yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum.penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.

a)      Pasar yang tidak sempurna
Di samping dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidaksempurnaan melanda pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual (arbab al-sila`) menghentikan penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari pasar yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus menetapkan harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.

b)      Musyawarah untuk Menetapkan Harga
Sebelum menerapkan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait.
Secara jelas, ia memaparkan kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang yang tidak akan memperoleh dukungan luas, seperti timbulnya pasar gelap atau manipulasi kualitas tingkat barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan. Berbagai bahaya ini dapat direduksi, bahkan dihilangkan, apabila harga-harga ditetapkan melalui proses musyawarah dan dengan  menciptakan rasa tanggung jawab moral serta dedikasi terhadap kepentingan publik.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang regulasi harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor produksi lainnya. Seperti yang telah disinggung  jasa mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya atau terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja, pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini adalah untuk melindungi para majikan dan para pekerja dari aksi saling mengeksploitasi diantara mereka.

b.      Uang dan Kebijakan Moneter
1)      Karakteristik dan Fungsi Uang
        Secara khusus Ibnu Taimiyah menyebutkan dua utama fingsi uang yaitu sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan,“Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti mengalihkan fungsi uang dari tujuan sebenarnya. Apabia uang dipertukarkan dengan uang yang lain, pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud) dan tanpa penundaan (hulul). Dengan cara ini, seseorang dapat mempergunakan uang sebagai sarana untuk memperoleh berbagai kebutuhannya.

2)      Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya penurunan nilai mata uang dan percetakan mata uang yang sangat banyak. Ia menyatakan,
Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain dari emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu Taimiyah memiliki beberapa pemikiran tentang hubungan antara jumlahh mata uang, total volume transaksi dan tingkat harga. Pernyataanya tentang volume fulus harus sesuai dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi adalah untuk menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai intrinsik mata uang, misalnya nilai logam, harus sesuai dengan daya beli di pasar sehingga tdak seorang pun, termasuk penguasa, dapat mengambil untung dengan melebur uang tersebut dan menjual dalam bentuk logam atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaram mata uang.

3)      Mata Uang yang Buruk Akan Menyngkirkan Mata Uang yang Baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut:
 “Apabila penguasa membatalkan pengggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilanhkan nlai tinggi yang semuka mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrisik mata uang tersebut berbeda, hal iniakan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarnya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawannya kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa lagi kedaerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.
Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah trlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama dibanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran mata uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.[9]

 
B.     Abu Ishaq Al – Syatibi (1388 M)
1.      Biografi
Al – Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq Al – Syatibi Bin Musa Bin Muhammad Al Lakhmi Al – Gharnati Al – Syatibi merupakan salah seorang cendikiawan Muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Beliau berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama Al - Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.

2.      Pemikiran Ekonomi Al-Syatibi
a.       Konsep Maqasid Syari’ah
Sebagai sumber agama Islam, Al-Qur’an mengendung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Al-Qur’an dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlaq, dan syari’ah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syari’ah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Dalam syari’ah ,sistermatika hukum Islam dibagi menjadi dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min al-nas).
Didalam kerangka ini , Al-Syatibi mengemukakan konsep maqasid al-syari’ah. Secara bahasa , maqasid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan al-syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat dikatakan jalan kearah sumber pokok kehidupan.[10] Menurut istilah Al-Syatibi mwnyatakan, “Sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia didunia dan diakhirat.”
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan Syari’ah menurut al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Dan iapun mengatakan bahwa tidak satupun hukum yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualitasnya, dalam pengertian mutlaknya.
Kewajiban-kewajiban dalam syaria’ah menyangkut perlindungan maqasid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Al-syatibi menjelaskan bahwa syari’ah berurusan dengan perlindungan mashalih, syaria’ah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun dengan cara preventif, seperti syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apapun yang secara actual potensial merusak mashalih.

1)      Pembagian Maqasid Al-Syari’ah
Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsure pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Beliau membagi maqasid menjadi tiga tingkatan, yaitu Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat.[11]
a)      Dhururiyat
Jenis maqasid ini merupakan kemestian dan lasndasan dalam menegakkan kesejahteraan manusiadidunia dan diakhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsure pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pemelihaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsure pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak.[12]
b)      Hajiyat
Maqasid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsure pokok kehidupan manusia.
c)      Tahsiniyat
Tujuan masaqid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia. [13]

b.      Kolerasi Antara Dhururiyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat 
Dari hasil penelaahannya secara mendalam, Al-Syatibi menyimpulkan korelasi Dhururiyat, Hajiyat sebagai berikut :
1)      Maqasid Dhururiyat, merupakan dasar bagi maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat.
2)      Kerusakan maqasid dhururiyat akan membawa kerusakan bagi maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat.
3)      Sebaliknya, kerusakan pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat tidak dapat merusak maqasid dhururiyat.
4)      kerusakan pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat yang bersifat absolute terkadang dapat merusak maqasid dhururiyat.
5)      Pemeliharaan maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqasid dhururiyat secara tepat.

Apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsure pokok secarasempurna, ketiga tingkat maqasid tersebut tidak dapat dipisahkan. Menurut al-Syatibi, tingkat hajiyat menyempurnakan tingkat dhururiyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurnaan bagi tingkat hajiyat, sedangkan dhururiyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.[14]
Berkenaan dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak terwujud aspek dhururiyat dapat merusak kehidupan manusai didunia dan diakhirat secarakeseluruhan. Pengabdian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsure pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabdian terhadap aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqasid yang lebih tinggi (tharuriyat dan hajiyat).

3.      Beberapa Pandangan Al-Syatibi Di Bidang Ekonomi
a.       Objek Kepemilikan
Al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan pengggunaannya tidak bisa dimilki oleh seorang pun. Ia membedakan dua macam air, yaitu air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikannya, seperti sungai dan oase dan air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti  air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Ia menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.[15]

b.      Pajak        
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan Umum). Dari pendapat terdahulu, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggungjawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggungjawab, masyarakat bisa mengalihkannya kepada baitul maal serta menyumbangkan sebagai kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.[16]



4.      Teori kesejahtraan (Wellfare) Al-Syatibi
Dari konsep maqasid al-syari’ah, bahwa syari’ah menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan. Al-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syari’ah. Manusia produk, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti didenifisikan syari’ah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperolehkebaikan didunia dan diakhirat. Seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs).
Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan adalah kewajiban agama. Manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Problematika ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfillment needs) dengan sumber daya alam yang tersedia.
Ilmu manajemen kontemporer, konsep maqasid al-syari’ah mempunyai relevasi yang begitu erat dengan konsep motivasi, seperti konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persoalan ”mengapa” seseorang berperilaku. Motivasi didenifisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan, dan sebagainya. Dikaitkan dengan konsep maqasid al-syari’at, dalam pandangan Islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan dalam arti memperoleh kemaslahatan hidu didunia dan diakhirat.
Seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Motivasi meliputi usaha, ketekunan, dan tujuan.
Menurut Maslow, seluruh kebutuhan belum terpenuhi padawaktu yang bersamaan, kebutuhan yang mendasar menjadi prioritas. Seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya terpenuhi. Berdasarkan konsep hierarchy of needs, bahwa garis hirarki berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari :
a.       Kebutuhan fisiologi (physiological needs), mencakup kebutuhan dasar manusia seperti, makan dan minum. Tidak terpenuhi dasar ini akan menjadi priorite manusia dan mengessampingkan seluruh kebutuhan hidup yang lainnya.
b.      Kebutuhan keamanan (safety needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
c.       Kebutuhan social (social needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih saying, dan persahabatan. Jika tidak terpenuhi mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
d.      Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), kebutuhan terhadap penghormatan dan pengakuan diri. Kebutuhan ini akan mempengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang.
e.       Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs), kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini yang paling tinggi.

Dalam kebutuhan managemen, kebutuhan-kebutuhan oleh Maslow dapatdiaplikasiklan:
1)      Pemenuhan kebutuhan fisiologi dalam pemberian upah atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
2)      Pemenuhan kebutuhan keamanan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerjadan lingkungan kerja yang aman.
3)      Pemenuhan kebutuhan social dalam hal dorongan terhadap kerjasama, stabilitas kelompok dan kesempatan berinteraksi social.
4)      Pemenuhan kebutuhan akan penghargaan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas pekerjaan dan pengakuan public terhadap performance yang baik.
5)      Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri dalam hal pilihan kreativitas dan tantangan pekerjaan.

Berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow sepenuhnya terakomodasi dalam konsep Maqasid Al-Syari’ah. Konsep yang dikemukakan Al-Syatibi mempunyaio keunggulan kompratif yang signifikan yakni menempatkan agama sebagai factor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia. Agama merupakan fitrah manusia dan menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia didunia.
Perspektif Islam, berpijak pada doktrin keagamaan menyatakan pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan didunia dan diakhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.[17]










BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas, dapat kita simpulkan beberapa pemikiran Ibnu Taimiyah dalam perkembangan ekonomi. Antara lain mengenai harga, beliau menyatakan bahwa yaitu kompensasi yang setara (‘iwad al-mithl) dan harga yang setara (thaman al-mithl). Dia berkata: “kompensasi yang setara akan diukur dan di taksir oleh hal-hal yang setara dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-‘adl). Dimana pun, ia membedakan antara dua jenis harga: harga yang tak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dia mempertimbangkan harga yang setara itu sebagai harga yang adil. Jadi, dua kata, “adil” dan “setara” digunakan saling mengganti. Tentang uang bliau menyatakan bahwa fungsi utama uang  adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang.
Sedangkan pemikiran Abu Ishaq Al-Syatibi ada beberapa konsep yang dibahas seperti Maqasid Syari’ah dan juga pandangan ekonomi Abu Ishaq Al-Syatibi yaitu Objek Kepemilikan, Al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak, Pajak dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan Umum), Al-Syatibi juga mengemukakan bahwa kesejahteraan merupakan tujuan dadi kegiatan ekonomi.

B.       Saran
Berdasarkan uraian diatas maka kami memberi saran kepada mahasiswa agar dapat memahai dan mengamalkan atas apa yang didapatkan dari pemakalah kelompok kami. Khususnya bagi kelompok kami agar bisa memberi penjelasan terhadap makalh ini dan selalu berusaha dalam berbagai hal.



DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman Azwar karim, 2006,  Jakarta,  PT. RajaGrafindo Persada, sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Euis Amalia,2005, Jakarta, Pustaka Asatruss, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Fazlurrahman, 1984, Bandung, Penerbit Pustaka , Islam.


[1] Adiwarman Azwar karim, sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006), Ed. 3., hlm. 351.
[2] Ibid.,
[3] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), Cet.1, hlm 167.
[4] Ibid., h.169
[5] Adiwarman Azwar Karim, Op.cit., hlm. 356
[6] Euis Amalia, op.cit., h.164
[7] Adiwarman Azwar karim, Op.cit., hlm. 365
[8] Ibid.,
[9] Adiwarman Azwar Karim, Op.cit., hlm. 376
[10] Fazlurrahman, Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h.140.
[11] Ibid.
[12] Adi Warman Azwar Karim, Op.cit.., h. 320.
[13]  Ibid., h.321.
[14] Ibid., h.322.
[15] Ibid., h.38.
[16] Ibid., h.138-139.
[17] Ibid., h.316-328.

0 komentar:

Posting Komentar

Pencarian

Pengunjung


Get this widget!
Diberdayakan oleh Blogger.

Inilah Saya

Teman

- See more at: http://tutorialseo-blog.blogspot.com/2012/03/cara-membuat-halaman-123-page-number.html#sthash.pf0fXsJQ.dpuf