Senin, 25 Mei 2015

Mitra Dalam Tuntunan Rosul

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain. demikian juga dalam konteks bisnis, seberapa pun hebatnya kemampuan seseorang dia tidak akan mungkin bisa mengembangkan bisnisnya tanpa bantuan dan keterlibatan orang lain dalam perjalanan bisnisnya, sementara disisi lain ada orang memiliki keterampilan saja dan tidak memiliki sarana atau bekerja sama dengan orang lain maka tidak akan berjalan.
            Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, banyak sektor-sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada sektor pertanian. Masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya menggentungkan hidupnya dari hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang memiliki lahan sendiri untuk digarap yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga yang tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga untuk memenuhi kebutuhannya mereka bekerja sama dengan yang memiliki lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan imbalan bagi hasil.
Namun ada juga mereka yang telah memiliki lahan sendiri, dikarenakan lahannya sedikit maka hasilnya belum mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk menambah penghasilan mereka juga bekerja di lahan milik orang lain dengan imbalan bagi hasil pertanian. Terdapat juga pemilik yang mempunyai beberapa bidang tanah tetapi tidak dapat menggarapnya karena suatu sebab sehingga penggarapannya diwakili orang lain dengan mendapat sebagian hasilnya. Kondisi seperti ini pada umumnya terlihat pada masyarakat pedesaan kita saat ini. Dari beberapa permasalahan ini ada baiknya kita rangkaikan menjadi suatu kesatuan yang saling memenuhi atau membutuhkan antara permasalahan yang satu dengan yang lainnya yaitu dalam bentuk kerjasama bagi hasil.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Prinsip Dasar dalam Mitra / Kongsi
Kemitraan yaitu bergabungnya beberapa orang dalam mengelola suatu usaha, tergabungnya beberapa orang dengan berbagai karakter, sikap dan sifat dalam suatu usaha bersama membuka peluang terwujudnya berbagai ineteres pribadi. Oleh sebab itu, kejujuran merupakan prinsip dasar yang harus dimiliki oleh semua yang tergabung dalam usaha bersama tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul antara kedua bela pihak yang bekerjasama dan agar kerjasama yang dibentuk ada kiat yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Dan dapat disimak dalam hadits kudsi berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ أَنَا ثاَلِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا[1]

Artinya:           “Abu Hurairah meriwayatkan , Rasulullah bersabda: Bahwa Allah berfirman: Aku (Allah) menjadi pihak yang ketiga dari dua pihak yang bekerjasama selama salah satu pihak tidak mengkhianati yang lain, jika salah satunya berkhianat terhadap yang lain aku (Allah) keluar dari mereka.”
Hadits di atas adalah hadits Qudsi yang mengatur etika kemitraan atau berserikat / kongsi. Allah menyatakan ketika dua pihak melakukan kemitraan, Allah menjadi pihak yang ketiganya.
Syirkah dalam segala bentuknya, muzara’ah, mudarabat, mukhabarat, secara bahasa berarti “ikhtilat” (percampuran) atau persekutuan dua pihak/ orng atau lebih, sehingga antara masing-masing sulit dibedakan, seperti kemitran usaha atau kemitraan hak milik
Dalam hadits di atas dapat dipahami bahwa bekerjasama dalam bidang ekonomi merupakan salah satu upaa dalam melakukan usaha dan pemberdayaan sumber daya manusia secara optimal. Dengan adanya perkongsiank, pemilik moal dapat mengembangkan usahanya dengan orang yang punya keahlian. Begitu juga pemilik keahlian meskipun tidak punya modal dalam bentuk materi tidak dapat dikembangkan dan tidak ada tenaga ahli yang menganggur atau tidak bekerja karana alasan tidak ada modal kerja.
Dalam pelaksanaannya, perkongsian atau kemitraan secara ersama-sama meraih kemajuan bersama. Kemitraan atau syirkah ini mungkin akan lebih efektif dan lebih membangkitkan etos kerja jika dibandingkan dengan melakukan peminjaman, baik ke perorangan ataupun ke bank. Dilihat dari proses kemitraan, semua orang yang bergabung sama-sama mempunyai tanggung jawab dan hak yang sering dan hak yang seimbang dengan besarna saham yang dimiliki. Semua  mempunyai kedudukan yang sejajar dan sama-sama mempunyai tanggung jawa dan hak yang seimbang dengan besarnya saham yang dimiliki. Semua mempunyai kedudukan yang sejajar dan sama-sama punya tanggung jawab untuk memajukan usaha yang dikelolanya.
Sedangkan dilihat dari hubungan kerja, jika dikatikan dengan perolehan maka peminjam lewat bank akan meambah rentetan pihak yang terlibat di dalam peroleh hasil. Karena bank pada dasarnya merupakan perantara antara debitur dan kreditur, yang mencari keuntungan dari usahanya seagai mediator tersebut. Sedangkan peminjam kepada perorangan akan membuka peluang untuk praktik riba jika pemilik modal menginginkan keuntungan dari peminjam yang diberikan. Dengan akar syirkah, maka keuntungan yang diperoleh oleh pemilik modal tidak mengarah pada riba.
Namun, dalam hadis di atas terlihat dengan jelas bahwa dalam perkongsian tersebtu harus dilandasi dengan sikap jujur pada pihak yang terlibat di dalamnya. Hal itu terlihat dalam hadis, Allah menyatakan bahwa ia akan bersama orang yang berkongsi selama orang tersebut mau bekerjasama dengan jujur. Maksudnya adalah Allah akan memelihara, menjaga, selalu memberikan pertolongan terhadap keduanya, dalam mengelola hartanya, dan memberikan berkah dalam usahanya. Bentuk konkret pertolongan dan penjagaan Allah antara lain adalah memberikan kemampuan kepada kedua belah pihak yang bermitra untuk menjalankan usaha bersama. Allah memberikan inspirasi atau ide cemerlang kepada pihak yang bermitra dalam pengembangan usaha serta memberikan jalan keluar bagi kedua belah pihak dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.[2]
Usaha bersama yang dilakukan dengan pertolongan, pemeliharaan, penjagaan dan keberkahan Allah adalah usaha yang dijalankan dengan landasan kejujuran dan transparansi. Pihak-pihak sama-sama memegang komitmen dan tanggung jawab untuk mencapai keuntungan bersama. Pengelola yang jujur memberikan rasa aman kepada pemilik modal untuk menanamkan modalnya dibanding dengan menyimpannya di perbankan. Disamping masih ada debat hasil yang diperoleh di perbankan (bunga) sama dengan riba dan bukan merupakan eksploitasi atau bukan, maka syirkah yang sudah digariskan Islam merupakan solousi yang leih menguntungkan.
Kejujuran sebagai syarat mitra/syirkah meliputi kejujuran kedua belah pihak dalam menjalankan usahanya. Termasuk di dalamnya teguh dalam memegang komitmen yang telah dibuat bersama, kedisiplinan kerja, tanggung jawab, dan pelaporan serta keadilan dalam meperoleh bagi hasil. Dengan demikian, kedua belah pihak termotivasi untuk memiliki kinerja dan etos kerja dalam pengembangan usaha bersama dan untuk memperoleh keuntungan bersama.
Hal yang berkaitan juga dengan kesuksesan kerja sama adalah jelasnya bagian keuntungan yang akan di dapat oleh masing-masing yang ikut serta dalam kemitraan tersebut. Besaran persentase keuntungan pemilik modal dan pengelola telah ditetapkan di awal secara adil, sehingga tidak menjadi pemicu terjadinya penyeleweng dari tarjaminnya hak pemilik modal.
Dalam hadis di atas Allah juga memberikan gambaran bahwa ada sesuatu yang dapat merusak hubungan kemitraan, yaitu pengkhianatan keuntungan sendiri misalnya penggelapan mark up, dan membocorkan rahasia perusahaan kepad pihak lain.
Pengkhianatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap mitranya merupakan awal dari kehancuran usaha bersama. Hal itu terlihat dari ancaman Allah terhdap orang yang berkhianat. Dalam usaha perknfsian, Allah kan meninggalkan mereka. Maksudnya, jika ada salah satu pihak yang terlibat dalam pengkongsian melakukan penghianatan terhadap yang lain, maka Allah akan mencabut berkah dari usaha yang mereka lakukan.[3]
Pengkhianatan salah satu pihak dalam perkongsian/kemitraan dapat menimbulkan kerugian usaha yang dibangun. Ketika salah satu pihak menunjukkan ada gejala tidak komit terhadap kesepakatan bersama, akan muncul sikap tidak percaya terhadap orang lain. Akibatnya, konsentrasi bukan lagi terhadap pekerjaan, tetapi terhadap kemungkinan mencari keuntungan sendiri saja. Jika salah satu pihak sudah memperhatikan kepentingannya sendiri dengan tidak lagi memperhatikan kemajuan usaha, maka yang ditemukan adalah kebalikan dari apa yang dijanjikan Allah, yaitu usaha akan jatuh pailit. Oleh sebab itu, kejujuran merupakan kunci dari usaha bersama.
Kecuritaan bahwa orang tidak jujur saja dapat berakibat tidak sehatnya hubungan para mitra apalagi kalau terbukti tidak jujur sesama mitra, pengkhianatan dapat dalam bentuk memegang teguh terhadap komitmen, menjalankan usaha bersama tidak sesuai ketentuan, penyalahgunaan wewenang,d an laporan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Dalam hadits lain diungkapkan oleh al-Saib bin Abi Saib yang melakukan syirkah dengan Rasulullah Saw. Dan dinyatkan rasuluallah saw. Merupakan mitra terbaiknya. Pernyataan tersebut karena dalam bermitra Rasulullah SAW. Tidak memberikan larangan-larangan dan tidak memperdebatkan.[4] Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. Dalam bermuamalah. Apalagi sebagai mitra selalu menjaga sikap baik dan kelembutan serta kejujuran.
Dari kedua hadis tersebut di atas, terlihat bahwa dalam menjalankan usaha yang dimabgun bersama, kedua belah pihak saling menjaga kepercayaan masing-masing. Karena kepercayaan merupakan modal utama kemitraan. Semua potensi yang dimiliki dapat digunakan untuk mengembangkan usaha bersama, dengan ide-ide kreatif yang dimiliki. ketika rasa saling percaya masih terbangun, masalah sebesar apapun dapat diselesaikan bersama dengan baik. Di hadis kedua, Rasul menunjukkanya dengan tidak terlalu membatasi dengan aturan-aturan yang baik terlalu penting, berbeda halnya ketika salah satu mengkhianati yang lain. Maka orientasinya bukan lagi memikirkan perkembangan usaha, yang muncul adalah rasa saling curiga.
Dari penjelasan hadis tersebut di atas, maka:
1.             Perkonfsian/kemitraan merupakan solusi untuk optimalisasi usaha karena dengan mitra:
a.            Dapat mengatasi kekurangan modal bagi pemilik modal kecil yang menggabungkan diri untuk berusaha bersama.
b.           Dapat mengtasi kekurangan modal bagi orang yang mempunyai keahlian, sehingga tenaga ahli dapat bekerjasama dengan pemilik modal.
c.            Dapat mengatasi ketidak mampuan pemilik modal dalam menjalankan usaha bersama. Dengan demikian, lapangan pekerjaan semakin terbuka karena ada pemilik modal yang mengucurkan dananya dan yang ahli dapat mengelola usaha meskipun tidak punya akses pada sumber modal.
2.             Jujur merupakan ketidakmampuan pemilik modal dalam menjalankan usaha bersama. Dengan demikian, lapangan pekerjaan semakin terbuka karena ada pemilik modal yang mengucurkan dananya dan yang ahli dapat mengelola usaha meskipun tidak punya akses pada sumber modal.
3.             Ada ancaman bahwa Allah tidak akan menyertai dengan rahmat-Nya semua bentuk kemitraan yang didasari oleh pengkhianatan yang berimpilikasi pada hancurnya kemitraan.







B.     Keadilan dan Kejujuran Dalam Kemitraan
Salah satu syarat kerja dama adalah kejujuran, kejujuran tetap berlaku di negeri manapun dan kapan pun. Kejujuran akan mengikis kecurigaan dan persengketaan sehingga kerja sama dapat berjalan dalam jangka panjang dan saling menguntungkan.
Islam menunjung tinggi nilai kejujuran dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam kerja sama. Sebagai mana Allah jelaskan “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya, dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengajarkan amal yang saleh; dan amal sedikitlah mereka itu (QS. Shaad[38]: 24)
Betapapun beratnya untuk berlaku jujur dan adil, dan itulah salah satu tantangan berbisnis, namun dengan itu seorang mukmin harus berusaha menaatinya, agar kemitraan tersebut membawa keselamatan dunia akhirat.[5]

C.           Musaqat dan Muzara’ah  Salah Satu Bentuk kemitraan
َالْمُسَاقاَت iambilkan dari perbuatannya yang paling penting, yaitu mengairi. Menurut syariat berarti menyerahkan pohon kepada orang yang mengairi dan menggarapnya, lalu dia mendpatkan upah tertentu dari buahnya.
Sedangkan المزرعة diambil dari kata zira’ah. Artinya menyerahkan tanah kepada orang yang menanaminya dengan upah tertentu dari hasilnya.
المساقات dan المزرعة termasuk akad persekutuan yang dasarnya adalah keadilan diantara dua orang yang bersekutu. Dua orang penmilik tanah dan pohon seperti pemilik dana, yang diserahkan kepada orang yang menjalankan perniagaan.
المساقات dan المزرعة (penggarap tanah dan yang mengairi pohon) seperti orang yang menjalankan perniagaan dengan dana orang lain. Dua hal ini termasuk dalam bab persekutuan, sehingga keuntungan di antara mereka berdua dan hutang juga ditanggung  bersama.
Dengan begitu dapat diketahui bahwa keduanya lebih dapat terhindar dari gharar (penipuan) dan ketidak tahuan daripada sewa-menyewa, lebih dekat pada keadilan. Karena itulah dua hal ini lebih dekat kepada dasar hukum, tidak seeprti yang dikatakan sebagian orang, bahwa keduanya bertentangan dengan kias, karena mereka mengira musaqat dan muzara’ah termasuk bab sewa-menyewa, yang didalamnya ada syarat kejelasan perbuatan dan upah. Tentu saja ini merupakan dugaan dari mereka.[6]



Hadits Kedua Ratus Delapan Puluh Satu
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرٍ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ[7]

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mempekerjakan penduduk khaibar, dan mereka mendapat separuh dari hasil buah-buahan dan tanaman yang dihasilkannya.”

Penjelasan Lafadzh:
1.             شَطْرُ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا bisa diberi arti dengan beberapa makna, di antaranya adalah separuh, dan memang inilah yang dimaksudkan di sini.
2.             مِنْ ثَمَرٍ “Dari hasil buah-buahan”, bersifat umum yang mencakup kurma, anggur dan selainnya.[8]



Makna Global:
Wilayah Khaibar merupakan wilayah pertanian yang dihuni orang-orang Yahudi. Setelah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menaklukkannya pada tahun ketujuh setelah hijrah, membagi tanah dan tanamannya di antara para mujahidin yang berhak mendapatkan harta rampasan, sementara mereka sibuk dengan jihad fi sabilillah dan dakwah kepada Allah, sehingga mereka tidak sempat mengurus dan menangani tanamannya, apalagi orang-orang Yahudi memiliki keahlian tersendiri dalam bercocok tanam, maka beliau menetapkan agar penduduknya yang memang sejak awal berada di sana untuk menggarap tanah di sana dan mengairi pohon-pohonnya, dan beliau menetapkan separuh dari hasil buah-buahan dan tanamannya, sebagai imbalan atas pekerjaan dan segala pembiayaan yang mereka keluarkan, sedangkan bagi orang-orang Muslim separuhnya lagi, karena merupakan pemilih lahan.
Muamalah ini terus berjalan semasa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Khilafah Abu Bakar, hingga tiba khalifah Umar bin al-Khaththab dan mengusir orang-orang Yahudi dari tanah Khaibar.[9]

Kesimpulan Hadits:
1.             Diperbolehkannya muzara’ah dan musaqat dengan upah tertentu dari hasil buah-buahan dan tanamannya.
2.             Menurut zahir hadits ini, bahwa tidak ada syarat bahwa benih harus disediakan pemilik tanah, dan inilah pendpat yang benar, yang berbeda dengan yang masyhur  dari mazhab kami, yang mensyaratkan penyediaan benih dari pemilik tanah.
3.             Jika diketahui bagian penggarap, maka tidak perlu disebutkan bagian pemilik tanah atau pohon, karena perjanjian hanya untuk kedua belah pihak.
4.             Diperbolehkannya memadukan musaqat dan muzara’ah di satu lahan, bahwa penggarap harus mengairi pohon dengna upah tertentu juga menggarap tanah dengan upah tertentu pula.
5.             Diperbolehkannya muamalah dengan orng-orang kafir dalam pertanian, perniagaan, tukar-menukar informasi dan bidang arsitektur dan perindustrian atau selainnya dari berbagai jenis muamalah.[10]

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama:
Seperti yang sudah diisyaratkan di depan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa musaqat dan muzara’ah bertentangan dengan dasar hukum dan kias. Karena itulah para ulama saling berbeda pendapat tentang hukum keduanya, dengan menyebutkan nash tetang masalah ini.
Tentang musaqat, Abu Hanifah berpendapat bahwa ia tidak boleh, bagaimanapun keadaannya, karena itu sama dengan sewa-menyewa dengan buah yang belum ada atau buah yang belum diketahui, yang berarti mengolah buah sebelum tampak kematangannya atau kembali ketidak jelasan hasilnya, yang keduanya sama-sama dilarang. Karena itu dia menyebutkan nash yang dianggapnya bertentangan dengan dasar hukum ini.
Sedangkan golongan Zhahiriyah berpendapat, bahwa musaqat tidak diperobolehkan kecuali hanya untuk pohon kurma, karena memang hanya pohon kurma itulah yang disebutkan.
Asy-Syafi’i menyatakan pembolehannya untuk pohon kurma dan anggur secara khusus, karena keduanya seringkali dipasangkan dalam berbagai hukum, diantara kewajiban zakat untuk keduanya secara khusus dari berbagai buah-uahan.
Mereka ini tidak mau memberlakukan hukum untuk semua pohon, yang dapat diambil manfaatnya, karena hukum inilah yang ditetapkan dalam pengabaran (hadits), karena hal itu dianggap bertentangan dengan dasar hukum, sehingga tidak boleh keluar dari nash yang disebutkan.
Al-Imam Ahmad membolehkan musaqat untuk semua buah-buahan yang dapat dimakan, bahkan sebagian rekannya juga membolehkannya untuk semua pohon yang mempunyai daun dan bunga yang diambil manfaatnya.
Malik membolehkannya untuk segala  hal yang memiliki dasar hukum yang pasti, dan ini merupakan rukhshsh yang bersifat umum, berlaku untuk segala sesuatu.
Kebenaran yang tidak dapat disangkal, bahwa hukum ini mencakup segala pohon yang dapat diambil manfaatnya, karena hadits ini menyebutkan buah-buahan, yang berarti bersifat umum untuk semua jenis buah-buahan. Siapa yang mengkhususkan dengna buah tertentu maka dia harus menghadirkan dalil, karena musaqat dan muzara’ah ini termasuk jenis akad persekutuan, yang didsarkan kepada dasar hukum yang dikiaskan, yaitu perbuatan dan upahnya diketahui secara jelas.
Seperti yang sudah disyaratkan di depan, menyangkal nash shahih dengan menggap bahwa ia bertentangan dengna dasar hukum, merupakan angapan bathil, karena hadis merupakan salah satu dari berbagai dasar hukum. Maka bagiamana mungkin seseorang mengagungkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan memperbolehkan dirinya menyangkal perkataan beliau, karena suatu dasar hukum yang dianggap benar? Musaqat dan muzara’ah in imerupakan perbuatan beliau dan juga khlafa’ sesudah beliau, yang tidak dihapus dan tidak pula diubah.
Mereka juga berbeda pendapat tentang muzara’ah. Tiga imam Abu Hanifah, Malik dan Asy Syafi’i tidak membilehkannya. Dalil mereka adalah hadits-hadits yang diriwayatkan dari rafi’ bin Khadij. Di antaranya: kami melakukan muzara’ah pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Lalu dia menuturkan bahwa sebagian pamannya menemuinya dan berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang sesuatu yang tadinya kami mendapatkan manfaatnya, nemun ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lebih bermanfaat.”
Dia berkata, “Apa itu?”
Sang paman menjawab, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa memiliki tanah, hendaklah dia menanaminya dan tidak menyewakannya dengan upah sepertiga, seperempat, dan tidak pula dengan satu bahan makanan yang disebutkan.”
Begitupula pada Ibnu Umar, dia bekta, “Tadinya kami melihat tidak ada salahnya dengan muzara’ah, hingga kami mendengar Rafi’ in Khadij berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarangnya.” (Mutttafaq Alaihi).
Adapula riayat Muslim dari Hanzhalah bin Qias, dia berkata, “Aku bertanya kepada rafi’ bin Khadij tetang menyewakan tanah dengan emas dan perak. Maka dia berkata, “Tidak apa-apa, karena orang-orang bisa menyewakannya pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lahan-lahan di pinggir sungai dan yang berdekatan dengan anak sungai serta bagian tanaman, hingga yang ini rusak dan orang lain sleamat. Orang-orang tidak menyewakan kecuali yang seperti itu. Karena itulah beliau mencelanya. Adapun untuk sesuatu yang diketahui secara jelas dan dijamin, maka tidak apa-apa.”
Disebutkan pula yang diriwayatkan Ahmad dan Muslim dari Jabir, dia berkata, “Tadinya kami melakukan muzara’ah pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu kami mendapatkan bagian dari siswa buah kurma yang sudah dipanen. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah saudaranya mengolahnya. Jika tidak hendaklah dia membiarkanya.”
Hadits-hadits ini menjadi hujjah orang-orang yang tidak memperbolehkan muzara’ah. Mereka berpendapat bahwa muzara’ah itu haram dan bathil. Hadits-hadits ini menguatkan dasar hukum yang mereka jadikan sandaran untuk pengharaman, bahwa muzara’ah termasuk jenis sewa-menyewa. Kalaupun menggunakan sewa-menyewa, maka upahnya harus jelas, karena itu sama dengan harga. Sementara upah untuk muzara’ah ini tidak jelas, sehingga diharamkan dan tidak sah.
Sedangkan Al-Imam Ahmad Rahimahullah membolehkannya, dan muzara’ah ini termasuk akad yang sah dan dikuatkan dalil yang shahih. Sebagian sahabat juga melakukanya, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik dan Abdullah bin Mas’ud, juga dilakukan generasi sesudahnya dari kalangan tabi’in, seperti Umar bin Abdul-Aziz, Al-Qasim bin Muhammad, Urwah bin As-Zubair, Ibnu Sirin, Sa’id bin Al-Musayyab, Thawus, Ax-Zuhri, Abdurrahman bin Abul Laila, yang juga merupakan pendapat beberapa fuqaha muhadditsin muta’akhirin ialah Ibnul-Munzir, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Sirin, Al-Khaththabi, juga merupakan pendpat golongan Zhahiriyah dan rekan-rekan Abu Hanifah. Menurut an-Nawawi, ini merupakan pendapat pilihan. Orang-orang muslim di berbagai kota dan zaman juga melakukan muzara’ah. Ibnu Khuzaimah sudah menulis buku yang membolehkan muzara’ah. Pra fuqaha’ mazhab hambali juga mengikuti pendapat Al-Imam Ahmad, baik dari kalangan muhaqiq maupun muqalid.
Mereka berpegang kepada muamalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan orang-orang Yahudi Khaibar, dan ini merupakan masalah yang masyhur, tidak dapat ditolak kecuali oleh takwil. Karena itu semenjak muamalah ini dilaksanakan, terus dilaksanakan, hingga Umar mengusir orang-orang Yahudi dari Khaibar pada masa khalifahnya, tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia menghapusnya atau menggantinya.
Tentang hadits-hadits Rafi’ bin Khadij yangdijadikan dalil oleh uarang-orang yang menolak dan melarang muzara’ah, dikomentari pada ulama, karena kerancuan dan tidak seragamnya. Terkadang dia meriwayatkan larangan dari sebagian pamannya. Terkadang riwayat ini dari Rafi’ bin Zhahir. Di sisi lain dia mendengarnya, lalu dia meriwayatkan larangan tentang menyewakan tanah. Di sisi lain disebutkan larangan upah. Di sisi lain larangan membagi hasil dengan sepertiga, seperempat dan makanan yang disebutkan.
Dengan begitu tampak jelas kerancuan dan keraguan di dalamnya, sampai-sampai al-Imam Ahmad berkata, “Hadits Rafi’ beraneka macam dan corak.” Para sahabat mengingkari hadits ini, dan Abdullah bin Umar tidak mengenalnya keculai pada masa khalifah Mu’awiyah. Bagiman mungkin hukum ini tidak mereka ketahui sementara mereka melakukannya?
Taruhlah bawah hadits ini shahih dan ada keseragaman, toh para ulama menggapinya dan juga mengomentari hadits jabir, dengan beberapa jawaban yang cukup memuaskan. Yang lain gbaik ialah menggbungkan hadits-hdits ini dengan hadits tentang khaibar, bahwa larangan muzara’ah ini ditakwilil sebatai muzaraah yang bathil, karena di sana ada unsur gharar dan ketidak jelasan, sehingga mirip dengan untung-untungan atau judi. Ini merupakan takwil yang terarah. Bahkan dalam sebagai jalur hadits diseutkan seperti takwil ini,
Karena itulah Ibnu –Akqayyim berkata, “barangsiapa memperhatikan hadits rafi’ bin Khadij dengan menggabungkan jalur-jalurnya, mempertimbangkan sebagian dengan sebagian yang lain, mewakili yang golbal dengan yang rinci, yang tidak terbatas dengan yang terbatas, tentu akan mengetahui bahwa yang dilarang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah yang jelas kebathilannya yaitu muzaraah yang zhali dan curang. Rafi’berkata, tadinya kami menyewakan tanah, bahwa kami mendapatkan hasil dari lahan tertentu, dan mereka mendapatkan hasil dari lahan tertentu lainnya. Padahal lahan ini hasil dari lahan tetetntu lainnya padahal lahan ini hasilnya bisa bagus dan lahan lainnya tidak bagus hasilnya.”
Dalam lafazh lain disebutkan, tadinya orang-orang bisa menyewakan lahn dan tanaman, perkataan Rafi’ slanjutnya, “Orang-orang tidak menyewakan kecuali yang telah disewakan. Karena itulah beliau mencelanya. Adapun untuk sesuatu yang diketahui secara jelas dan dijamin, maka tidak apa-apa.” Merupakan ungkapan yang sangat jelas dalam hadits Rafi’ dan juga paling shahih, sehingga di sini dapat diketahui mana yang global dan mana yang rinci. Yang tidak terbatas dan yang terbatas, sehiingga takwil dilandaskan kepada penafsiran yang jelas ini, baik hukum mapun lafazhnya, “Begitulah yang dikatakan Ibnul-Qayyim Rahimahullah.
Al-Laits bin Sa’ad berkata, “Yang dilarang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah masalah yang sekiranya diperhatikan orang yang mempunyai kepedulian terhadap yang halal dan yang haram merupakan hal yang memang tidak diperbolehkan, karena di dalamnya ada kecurangan”.
Menurut Ibnul-Mundzir, berbagai penhabaran Rafi’ disebutkan dengan beberapa alasan yang menunjukkan bahwa larangan itu karena pertimbangan alasan-alasan tersebut.
Al-Khaththabi berkata, “Mereka (Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafi’i) menetapkan berdasarkan zhahir hadits dari riwayat Rafi’ bin Khadij, dan mereka tidak memperhatikan alasannya seperti yang dilakukan Ahmad”.
Masih menurut Al-Khaththabi, muzara’ah dengan bagi hasil separuh, sepertiga, seperempat atau menurut kesepakatan kedua belah pihak adalah diperbolehkan, asalkan bagi hasil atau  upahnya jelas dan tidak ada syarat-syarat yang bathil. Inilah yang dilakukan orang-orang Muslim di berbagai negeri Islam dan di segala penjuru dunia, di belahan timur maupun di barat. Tidak pernah didapatkan atau didengar penduduk suatu negeri atau wilayah yang di sana ada orang-orang Muslim, yang melarang muzara’ah ini.
Kemudian Al-Khaththabi berkata tentang hadits Rafi’ biin Khadij tentang sewa-menyewa lahan di pinggir sungai, dia berktaa, “Saya ingin memberitahukan kepadamu tentang Rafi’ di dalam hadits ini, bahwa yang dilarang itu ialah yang tidak diketahui dari yang diketahui. Biasanya mereka memang menetapkan beberapa syarat yang bathil dan meminta pengecualian dari beberapa tanaman yang berada di pinggir aliran air atau sungai, sehingga lahan bagian ini khusus bagi pemilik tanah.”
Muzara’ah merupakan persekutuan dan kemitraan. Bagian penggarap tidak boleh tidak diketahui, sebab hasil di pinggir aliran air bisa bagus, sementara yang di lahan lainnya tidak bagus, sehingga akhirnya dia tidak mendapatkan hasil apa pun. Tentu saja ini merupakan pengecohan dan gharar.
Jika pemilik tanah meminta tambahan beberapa dirham dari penggarap dari bagian keuntungan yang sudah ditetapkan, maka bagi hasil itu bathil. Semacam ini dan juga gambaran sebelumnya adalah bathil.
Dasar bagi hasil dalam muzara’ah dan musaqat ada dalam As-Sunnah. Lalu bagaimana mungkin cabangnya diperbolehkan, sedangkan dasarnya dianggap bathil?” begitulah yang dikatakan Al-Khaththabi Rahimahullah. Ini merupakan pernyataan yang mengarah dengan lafazh yang singkat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang dimaksudkan dalam hal ini, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang persekutuan berupa sewa-menyewa tanah dalam pengertian secara umum, jika pemilik tanah menteapkan syarat pengkhususan tanaman di lahan tertentu bagi dirinya. Masalah ini seperti yang dikatakan Al-Laits bin Sa’ad. Dia sudah menjelaskan apa yang dilarang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, jika orang yang memiliki perhatian terhadap hal yang halal dan haram, tentu akan tahu bahwa memang itu adalah diharamkan.
Dengan begitu ada kejelasan bahwa muzara’ah dan musaqat merupakan dua akad yang sah dan diperbolehkan. Pendapat yang membolehkannya merupakan pendapat jumhur umat, salaf maupun khalaf, dan itu merupakan kebiasaan orang-orang Muslim, dahulu maupun sekarang.[11]

D.    Rukun dan Syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.
          Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:
1.    Pemilik tanah
2.    Petani penggarap
3.    Objek al-muzaraah
4.    Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
       
          Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
1.      Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan     macam apa saja yang ditanam.
3.      Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
4.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas tanah.
5.      Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
6.      Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah.[12]

          Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
1.     Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
2.     Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
3.     Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
4.     Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
5.    Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.[13]

E.            Manfaat/Faidah Kemitraan
Syaikhul Islam menyatakan, jumhur mengatakan bahwa persekutuan itu ada dua macam: Persekutuan dalam harta milik dan persekutuan dalam akad. Persekutuan akad merupakan dasar tersendiri yang tidak membutuhkan persekutuan harta milik, sebagaimana persekutuan harta milik tidak membutuhkan persekutuan akad, meski keduanya juga dapat digabungkan.
Bagi hasil merupakan persekutuan akad menurut ijma’, begitu pula musaqat dan muzara’ah, meskipun sebagian fuqaha’ ada yang menyatakan bahwa keduanya termasuk sewa-menyewa, yang bertentangan dengan kias. Yang benar, keduanya merupakan dasar hukum tersendiri yang termasuk bab persekutuan dan bukan termasuk bab sewa-menyewa. Keduanya juga sejalan dengan kias tentang persekutuan.[14]


BAB III
KSIMPULAN

Muzara’ah merupakan salah satu bentuk kemitraan yaitu kerja sama antara pemilik lahan atau pemilik modal dengan pekerja dalam menelola lahan, bibit dan pupuk dari si pengelola dengan memperoleh sebagian dari hasil.
Muzara’ah merupakan bentuk kemitraan dengan pemilik lahan bentuk kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dengan penggara, dengan benih tanaman dan biaya garapan dari pihak penggarap, hasilnya kemudian dibagi berdasarkan kesepakatan.
Kejujuran dan keadilan sangat diperlukan dalam bekerja sama karena hal tersebut merupakan tantangan dalam bermitra,  karena akan membawa keselamatan dunia dan akhirat.
Diterapkannya sistem muzara’ah snagt berdampak pada pertumbuan sosial ekonomi dalam masyarakat seperti saling tolong menolong. Dapat meningkatkan penghasilan kedua belah pihak yang bekerja sam, dan dapat meningkatkan produksi alam negeri, sehingga dapat mendorong pembangunan sektor rill yang menopang perumbuhan ekonomisecara keseluruhan.


DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah
Abu Dawud, juz 3
Al- Bukhari, juz 2
Al-Kahlani, juz. 3 dan Al-Syaukani, juz. 5
Al-Syaukani, juz 5
Al-Tirmizi
Hussein Khalid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya: Al-Ikhlas, 1987
Ibnu Majah, juz 2
Kamaluddin Laode, Rahasia Bisnis Rasulullah, Semarang: Wisata Ruhani Pesantren Basmala, 2007
Muslim juz 3
Nasreon Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000
Pasaribu Chairuman, Hukum Perjanjian Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
                              




[1] Sanad hadis ini Abu Dawud dari Muhammad bin Sulaiman dari Muhammad ibn al-Zubirqan dari Abi Hibbah al-Timi, dari ayahnya Abu Hirairah. Abu Dawud, juz 3, hlm. 256
[2] Al-Kahlani, juz. 3, hlm.64 dan Al-Syaukani, juz. 5, hlm.361
[3] Al-Syaukani, ibid., juz 5.
[4] Ibnu Majah, juz 2, hlm.768
[5]Laode Kamaluddin, Rahasia Bisnis Rasulullah, ( Semarang: Wisata Ruhani Pesantren Basmala, 2007) hlm. 45
[6] Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hlm 1
[7] Al- Bukhari, juz 2, hlm 882  dan Muslim juz 3, hlm. 1186, al-Tirmizi, hlm. 421
[8] Al-Syaukani, juz 6, hlm. 9
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 153
[10] Ibid, hlm. 155
[11] Hussein Khalid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), hlm. 173-174
[12] Suhendi, Fiqh Muaalah..., hlm. 158-159
[13]Haroen Nasreon, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 278
[14]Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm 63
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين
Baca ->>

Pencarian

Pengunjung


Get this widget!
Diberdayakan oleh Blogger.

Inilah Saya

Teman

- See more at: http://tutorialseo-blog.blogspot.com/2012/03/cara-membuat-halaman-123-page-number.html#sthash.pf0fXsJQ.dpuf