BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain. demikian juga dalam
konteks bisnis, seberapa pun hebatnya kemampuan seseorang dia tidak akan
mungkin bisa mengembangkan bisnisnya tanpa bantuan dan keterlibatan orang lain
dalam perjalanan bisnisnya, sementara disisi lain ada orang memiliki
keterampilan saja dan tidak memiliki sarana atau bekerja sama dengan orang lain
maka tidak akan berjalan.
Bekerja
merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, banyak sektor-sektor pekerjaan
yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada sektor pertanian. Masyarakat
pedesaan yang pada umumnya hanya menggentungkan hidupnya dari hasil pertanian,
dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang
memiliki lahan sendiri untuk digarap yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga
yang tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga untuk memenuhi
kebutuhannya mereka bekerja sama dengan yang memiliki lahan untuk menggarap
lahan pertaniannya dengan imbalan bagi hasil.
Namun ada juga mereka yang telah memiliki lahan
sendiri, dikarenakan lahannya sedikit maka hasilnya belum mencukupi kebutuhan
hidupnya, untuk menambah penghasilan mereka juga bekerja di lahan milik orang
lain dengan imbalan bagi hasil pertanian. Terdapat juga pemilik yang mempunyai
beberapa bidang tanah tetapi tidak dapat menggarapnya karena suatu sebab
sehingga penggarapannya diwakili orang lain dengan mendapat sebagian hasilnya.
Kondisi seperti ini pada umumnya terlihat pada masyarakat pedesaan kita saat
ini. Dari beberapa permasalahan ini ada baiknya kita rangkaikan menjadi suatu
kesatuan yang saling memenuhi atau membutuhkan antara permasalahan yang satu
dengan yang lainnya yaitu dalam bentuk kerjasama bagi hasil.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip Dasar dalam Mitra / Kongsi
Kemitraan yaitu bergabungnya beberapa
orang dalam mengelola suatu usaha, tergabungnya beberapa orang dengan berbagai
karakter, sikap dan sifat dalam suatu usaha bersama membuka peluang terwujudnya
berbagai ineteres pribadi. Oleh sebab itu, kejujuran merupakan prinsip dasar
yang harus dimiliki oleh semua yang tergabung dalam usaha bersama tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan yang mungkin
timbul antara kedua bela pihak yang bekerjasama dan agar kerjasama yang
dibentuk ada kiat yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Dan dapat disimak dalam
hadits kudsi berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ
إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ أَنَا ثاَلِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا
صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا[1]
Artinya: “Abu
Hurairah meriwayatkan , Rasulullah bersabda: Bahwa Allah berfirman: Aku (Allah)
menjadi pihak yang ketiga dari dua pihak yang bekerjasama selama salah satu
pihak tidak mengkhianati yang lain, jika salah satunya berkhianat terhadap yang
lain aku (Allah) keluar dari mereka.”
Hadits di atas adalah hadits Qudsi yang
mengatur etika kemitraan atau berserikat / kongsi. Allah menyatakan ketika dua
pihak melakukan kemitraan, Allah menjadi pihak yang ketiganya.
Syirkah dalam segala bentuknya, muzara’ah,
mudarabat, mukhabarat, secara bahasa berarti “ikhtilat” (percampuran) atau
persekutuan dua pihak/ orng atau lebih, sehingga antara masing-masing sulit
dibedakan, seperti kemitran usaha atau kemitraan hak milik
Dalam hadits di atas dapat dipahami bahwa
bekerjasama dalam bidang ekonomi merupakan salah satu upaa dalam melakukan
usaha dan pemberdayaan sumber daya manusia secara optimal. Dengan adanya
perkongsiank, pemilik moal dapat mengembangkan usahanya dengan orang yang punya
keahlian. Begitu juga pemilik keahlian meskipun tidak punya modal dalam bentuk
materi tidak dapat dikembangkan dan tidak ada tenaga ahli yang menganggur atau
tidak bekerja karana alasan tidak ada modal kerja.
Dalam pelaksanaannya, perkongsian atau
kemitraan secara ersama-sama meraih kemajuan bersama. Kemitraan atau syirkah
ini mungkin akan lebih efektif dan lebih membangkitkan etos kerja jika
dibandingkan dengan melakukan peminjaman, baik ke perorangan ataupun ke bank.
Dilihat dari proses kemitraan, semua orang yang bergabung sama-sama mempunyai
tanggung jawab dan hak yang sering dan hak yang seimbang dengan besarna saham yang
dimiliki. Semua mempunyai kedudukan yang
sejajar dan sama-sama mempunyai tanggung jawa dan hak yang seimbang dengan
besarnya saham yang dimiliki. Semua mempunyai kedudukan yang sejajar dan
sama-sama punya tanggung jawab untuk memajukan usaha yang dikelolanya.
Sedangkan dilihat dari hubungan kerja,
jika dikatikan dengan perolehan maka peminjam lewat bank akan meambah rentetan
pihak yang terlibat di dalam peroleh hasil. Karena bank pada dasarnya merupakan
perantara antara debitur dan kreditur, yang mencari keuntungan dari usahanya
seagai mediator tersebut. Sedangkan peminjam kepada perorangan akan membuka
peluang untuk praktik riba jika pemilik modal menginginkan keuntungan dari
peminjam yang diberikan. Dengan akar syirkah, maka keuntungan yang diperoleh oleh
pemilik modal tidak mengarah pada riba.
Namun, dalam hadis di atas terlihat dengan
jelas bahwa dalam perkongsian tersebtu harus dilandasi dengan sikap jujur pada
pihak yang terlibat di dalamnya. Hal itu terlihat dalam hadis, Allah menyatakan
bahwa ia akan bersama orang yang berkongsi selama orang tersebut mau
bekerjasama dengan jujur. Maksudnya adalah Allah akan memelihara, menjaga,
selalu memberikan pertolongan terhadap keduanya, dalam mengelola hartanya, dan
memberikan berkah dalam usahanya. Bentuk konkret pertolongan dan penjagaan
Allah antara lain adalah memberikan kemampuan kepada kedua belah pihak yang
bermitra untuk menjalankan usaha bersama. Allah memberikan inspirasi atau ide
cemerlang kepada pihak yang bermitra dalam pengembangan usaha serta memberikan
jalan keluar bagi kedua belah pihak dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.[2]
Usaha bersama yang dilakukan dengan
pertolongan, pemeliharaan, penjagaan dan keberkahan Allah adalah usaha yang
dijalankan dengan landasan kejujuran dan transparansi. Pihak-pihak sama-sama
memegang komitmen dan tanggung jawab untuk mencapai keuntungan bersama.
Pengelola yang jujur memberikan rasa aman kepada pemilik modal untuk menanamkan
modalnya dibanding dengan menyimpannya di perbankan. Disamping masih ada debat hasil
yang diperoleh di perbankan (bunga) sama dengan riba dan bukan merupakan
eksploitasi atau bukan, maka syirkah yang sudah digariskan Islam merupakan
solousi yang leih menguntungkan.
Kejujuran sebagai syarat mitra/syirkah
meliputi kejujuran kedua belah pihak dalam menjalankan usahanya. Termasuk di
dalamnya teguh dalam memegang komitmen yang telah dibuat bersama, kedisiplinan
kerja, tanggung jawab, dan pelaporan serta keadilan dalam meperoleh bagi hasil.
Dengan demikian, kedua belah pihak termotivasi untuk memiliki kinerja dan etos
kerja dalam pengembangan usaha bersama dan untuk memperoleh keuntungan bersama.
Hal yang berkaitan juga dengan kesuksesan
kerja sama adalah jelasnya bagian keuntungan yang akan di dapat oleh
masing-masing yang ikut serta dalam kemitraan tersebut. Besaran persentase
keuntungan pemilik modal dan pengelola telah ditetapkan di awal secara adil,
sehingga tidak menjadi pemicu terjadinya penyeleweng dari tarjaminnya hak
pemilik modal.
Dalam hadis di atas Allah juga memberikan
gambaran bahwa ada sesuatu yang dapat merusak hubungan kemitraan, yaitu
pengkhianatan keuntungan sendiri misalnya penggelapan mark up, dan membocorkan
rahasia perusahaan kepad pihak lain.
Pengkhianatan yang dilakukan oleh salah
satu pihak terhadap mitranya merupakan awal dari kehancuran usaha bersama. Hal
itu terlihat dari ancaman Allah terhdap orang yang berkhianat. Dalam usaha
perknfsian, Allah kan meninggalkan mereka. Maksudnya, jika ada salah satu pihak
yang terlibat dalam pengkongsian melakukan penghianatan terhadap yang lain,
maka Allah akan mencabut berkah dari usaha yang mereka lakukan.[3]
Pengkhianatan salah satu pihak dalam
perkongsian/kemitraan dapat menimbulkan kerugian usaha yang dibangun. Ketika
salah satu pihak menunjukkan ada gejala tidak komit terhadap kesepakatan
bersama, akan muncul sikap tidak percaya terhadap orang lain. Akibatnya,
konsentrasi bukan lagi terhadap pekerjaan, tetapi terhadap kemungkinan mencari
keuntungan sendiri saja. Jika salah satu pihak sudah memperhatikan
kepentingannya sendiri dengan tidak lagi memperhatikan kemajuan usaha, maka
yang ditemukan adalah kebalikan dari apa yang dijanjikan Allah, yaitu usaha
akan jatuh pailit. Oleh sebab itu, kejujuran merupakan kunci dari usaha
bersama.
Kecuritaan bahwa orang tidak jujur saja
dapat berakibat tidak sehatnya hubungan para mitra apalagi kalau terbukti tidak
jujur sesama mitra, pengkhianatan dapat dalam bentuk memegang teguh terhadap
komitmen, menjalankan usaha bersama tidak sesuai ketentuan, penyalahgunaan
wewenang,d an laporan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Dalam hadits lain diungkapkan oleh al-Saib
bin Abi Saib yang melakukan syirkah dengan Rasulullah Saw. Dan dinyatkan
rasuluallah saw. Merupakan mitra terbaiknya. Pernyataan tersebut karena dalam
bermitra Rasulullah SAW. Tidak memberikan larangan-larangan dan tidak
memperdebatkan.[4]
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. Dalam bermuamalah. Apalagi sebagai
mitra selalu menjaga sikap baik dan kelembutan serta kejujuran.
Dari kedua hadis tersebut di atas,
terlihat bahwa dalam menjalankan usaha yang dimabgun bersama, kedua belah pihak
saling menjaga kepercayaan masing-masing. Karena kepercayaan merupakan modal
utama kemitraan. Semua potensi yang dimiliki dapat digunakan untuk
mengembangkan usaha bersama, dengan ide-ide kreatif yang dimiliki. ketika rasa
saling percaya masih terbangun, masalah sebesar apapun dapat diselesaikan
bersama dengan baik. Di hadis kedua, Rasul menunjukkanya dengan tidak terlalu
membatasi dengan aturan-aturan yang baik terlalu penting, berbeda halnya ketika
salah satu mengkhianati yang lain. Maka orientasinya bukan lagi memikirkan
perkembangan usaha, yang muncul adalah rasa saling curiga.
Dari penjelasan hadis tersebut di atas,
maka:
1.
Perkonfsian/kemitraan
merupakan solusi untuk optimalisasi usaha karena dengan mitra:
a.
Dapat
mengatasi kekurangan modal bagi pemilik modal kecil yang menggabungkan diri
untuk berusaha bersama.
b.
Dapat
mengtasi kekurangan modal bagi orang yang mempunyai keahlian, sehingga tenaga
ahli dapat bekerjasama dengan pemilik modal.
c.
Dapat
mengatasi ketidak mampuan pemilik modal dalam menjalankan usaha bersama. Dengan
demikian, lapangan pekerjaan semakin terbuka karena ada pemilik modal yang
mengucurkan dananya dan yang ahli dapat mengelola usaha meskipun tidak punya
akses pada sumber modal.
2.
Jujur
merupakan ketidakmampuan pemilik modal dalam menjalankan usaha bersama. Dengan
demikian, lapangan pekerjaan semakin terbuka karena ada pemilik modal yang mengucurkan
dananya dan yang ahli dapat mengelola usaha meskipun tidak punya akses pada
sumber modal.
3.
Ada ancaman
bahwa Allah tidak akan menyertai dengan rahmat-Nya semua bentuk kemitraan yang
didasari oleh pengkhianatan yang berimpilikasi pada hancurnya kemitraan.
B. Keadilan dan Kejujuran Dalam Kemitraan
Salah satu syarat kerja dama adalah kejujuran,
kejujuran tetap berlaku di negeri manapun dan kapan pun. Kejujuran akan
mengikis kecurigaan dan persengketaan sehingga kerja sama dapat berjalan dalam
jangka panjang dan saling menguntungkan.
Islam menunjung tinggi nilai kejujuran
dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam kerja sama. Sebagai mana Allah
jelaskan “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta
kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya, dan sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada
sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengajarkan amal yang
saleh; dan amal sedikitlah mereka itu (QS. Shaad[38]: 24)
Betapapun beratnya untuk berlaku jujur dan
adil, dan itulah salah satu tantangan berbisnis, namun dengan itu seorang
mukmin harus berusaha menaatinya, agar kemitraan tersebut membawa keselamatan
dunia akhirat.[5]
C.
Musaqat dan Muzara’ah Salah Satu
Bentuk kemitraan
َالْمُسَاقاَت
iambilkan dari perbuatannya yang paling penting, yaitu mengairi. Menurut syariat
berarti menyerahkan pohon kepada orang yang mengairi dan menggarapnya, lalu dia
mendpatkan upah tertentu dari buahnya.
Sedangkan المزرعة diambil dari kata zira’ah.
Artinya menyerahkan tanah kepada orang yang menanaminya dengan upah tertentu
dari hasilnya.
المساقات dan المزرعة termasuk akad
persekutuan yang dasarnya adalah keadilan diantara dua orang yang bersekutu.
Dua orang penmilik tanah dan pohon seperti pemilik dana, yang diserahkan kepada
orang yang menjalankan perniagaan.
المساقات dan المزرعة (penggarap tanah dan yang mengairi pohon)
seperti orang yang menjalankan perniagaan dengan dana orang lain. Dua hal ini
termasuk dalam bab persekutuan, sehingga keuntungan di antara mereka berdua dan
hutang juga ditanggung bersama.
Dengan begitu dapat diketahui bahwa
keduanya lebih dapat terhindar dari gharar (penipuan) dan ketidak tahuan
daripada sewa-menyewa, lebih dekat pada keadilan. Karena itulah dua hal ini
lebih dekat kepada dasar hukum, tidak seeprti yang dikatakan sebagian orang,
bahwa keduanya bertentangan dengan kias, karena mereka mengira musaqat
dan muzara’ah termasuk bab sewa-menyewa, yang didalamnya ada syarat
kejelasan perbuatan dan upah. Tentu saja ini merupakan dugaan dari mereka.[6]
Hadits Kedua Ratus Delapan Puluh Satu
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرٍ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ
زَرْعٍ[7]
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu
Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mempekerjakan penduduk
khaibar, dan mereka mendapat separuh dari hasil buah-buahan dan tanaman yang
dihasilkannya.”
Penjelasan Lafadzh:
1.
شَطْرُ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا bisa diberi arti dengan
beberapa makna, di antaranya adalah separuh, dan memang inilah yang dimaksudkan
di sini.
2.
مِنْ ثَمَرٍ “Dari hasil buah-buahan”, bersifat umum yang mencakup
kurma, anggur dan selainnya.[8]
Makna Global:
Wilayah Khaibar merupakan wilayah
pertanian yang dihuni orang-orang Yahudi. Setelah Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam menaklukkannya pada tahun ketujuh setelah hijrah, membagi tanah dan
tanamannya di antara para mujahidin yang berhak mendapatkan harta rampasan,
sementara mereka sibuk dengan jihad fi sabilillah dan dakwah kepada
Allah, sehingga mereka tidak sempat mengurus dan menangani tanamannya, apalagi
orang-orang Yahudi memiliki keahlian tersendiri dalam bercocok tanam, maka
beliau menetapkan agar penduduknya yang memang sejak awal berada di sana untuk
menggarap tanah di sana dan mengairi pohon-pohonnya, dan beliau menetapkan separuh
dari hasil buah-buahan dan tanamannya, sebagai imbalan atas pekerjaan dan
segala pembiayaan yang mereka keluarkan, sedangkan bagi orang-orang Muslim
separuhnya lagi, karena merupakan pemilih lahan.
Muamalah ini terus berjalan semasa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Khilafah Abu Bakar, hingga
tiba khalifah Umar bin al-Khaththab dan mengusir orang-orang Yahudi dari tanah
Khaibar.[9]
Kesimpulan Hadits:
1.
Diperbolehkannya
muzara’ah dan musaqat dengan upah tertentu dari hasil buah-buahan dan
tanamannya.
2.
Menurut
zahir hadits ini, bahwa tidak ada syarat bahwa benih harus disediakan pemilik
tanah, dan inilah pendpat yang benar, yang berbeda dengan yang masyhur dari mazhab kami, yang mensyaratkan
penyediaan benih dari pemilik tanah.
3.
Jika
diketahui bagian penggarap, maka tidak perlu disebutkan bagian pemilik tanah
atau pohon, karena perjanjian hanya untuk kedua belah pihak.
4.
Diperbolehkannya
memadukan musaqat dan muzara’ah di satu lahan, bahwa penggarap harus
mengairi pohon dengna upah tertentu juga menggarap tanah dengan upah tertentu
pula.
5.
Diperbolehkannya
muamalah dengan orng-orang kafir dalam pertanian, perniagaan, tukar-menukar
informasi dan bidang arsitektur dan perindustrian atau selainnya dari berbagai
jenis muamalah.[10]
Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama:
Seperti yang sudah diisyaratkan di depan
sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa musaqat dan muzara’ah bertentangan
dengan dasar hukum dan kias. Karena itulah para ulama saling berbeda pendapat
tentang hukum keduanya, dengan menyebutkan nash tetang masalah ini.
Tentang musaqat, Abu Hanifah berpendapat
bahwa ia tidak boleh, bagaimanapun keadaannya, karena itu sama dengan
sewa-menyewa dengan buah yang belum ada atau buah yang belum diketahui, yang
berarti mengolah buah sebelum tampak kematangannya atau kembali ketidak jelasan
hasilnya, yang keduanya sama-sama dilarang. Karena itu dia menyebutkan nash
yang dianggapnya bertentangan dengan dasar hukum ini.
Sedangkan golongan Zhahiriyah berpendapat,
bahwa musaqat tidak diperobolehkan kecuali hanya untuk pohon kurma,
karena memang hanya pohon kurma itulah yang disebutkan.
Asy-Syafi’i menyatakan pembolehannya untuk
pohon kurma dan anggur secara khusus, karena keduanya seringkali dipasangkan
dalam berbagai hukum, diantara kewajiban zakat untuk keduanya secara khusus
dari berbagai buah-uahan.
Mereka ini tidak mau memberlakukan hukum
untuk semua pohon, yang dapat diambil manfaatnya, karena hukum inilah yang
ditetapkan dalam pengabaran (hadits), karena hal itu dianggap bertentangan
dengan dasar hukum, sehingga tidak boleh keluar dari nash yang disebutkan.
Al-Imam Ahmad membolehkan musaqat untuk
semua buah-buahan yang dapat dimakan, bahkan sebagian rekannya juga
membolehkannya untuk semua pohon yang mempunyai daun dan bunga yang diambil
manfaatnya.
Malik membolehkannya untuk segala hal yang memiliki dasar hukum yang pasti, dan
ini merupakan rukhshsh yang bersifat umum, berlaku untuk segala sesuatu.
Kebenaran yang tidak dapat disangkal,
bahwa hukum ini mencakup segala pohon yang dapat diambil manfaatnya, karena hadits
ini menyebutkan buah-buahan, yang berarti bersifat umum untuk semua jenis
buah-buahan. Siapa yang mengkhususkan dengna buah tertentu maka dia harus
menghadirkan dalil, karena musaqat dan muzara’ah ini termasuk jenis akad
persekutuan, yang didsarkan kepada dasar hukum yang dikiaskan, yaitu perbuatan
dan upahnya diketahui secara jelas.
Seperti yang sudah disyaratkan di depan,
menyangkal nash shahih dengan menggap bahwa ia bertentangan dengna dasar hukum,
merupakan angapan bathil, karena hadis merupakan salah satu dari berbagai dasar
hukum. Maka bagiamana mungkin seseorang mengagungkan Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam dengan memperbolehkan dirinya menyangkal perkataan beliau, karena
suatu dasar hukum yang dianggap benar? Musaqat dan muzara’ah in imerupakan
perbuatan beliau dan juga khlafa’ sesudah beliau, yang tidak dihapus dan tidak
pula diubah.
Mereka juga berbeda pendapat tentang
muzara’ah. Tiga imam Abu Hanifah, Malik dan Asy Syafi’i tidak membilehkannya.
Dalil mereka adalah hadits-hadits yang diriwayatkan dari rafi’ bin Khadij. Di
antaranya: kami melakukan muzara’ah pada zaman Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Lalu dia menuturkan bahwa sebagian pamannya menemuinya
dan berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang sesuatu
yang tadinya kami mendapatkan manfaatnya, nemun ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam lebih bermanfaat.”
Dia berkata, “Apa itu?”
Sang paman menjawab, “Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa memiliki tanah, hendaklah dia menanaminya
dan tidak menyewakannya dengan upah sepertiga, seperempat, dan tidak pula
dengan satu bahan makanan yang disebutkan.”
Begitupula pada Ibnu Umar, dia bekta,
“Tadinya kami melihat tidak ada salahnya dengan muzara’ah, hingga kami
mendengar Rafi’ in Khadij berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
melarangnya.” (Mutttafaq Alaihi).
Adapula riayat Muslim dari Hanzhalah bin
Qias, dia berkata, “Aku bertanya kepada rafi’ bin Khadij tetang menyewakan
tanah dengan emas dan perak. Maka dia berkata, “Tidak apa-apa, karena
orang-orang bisa menyewakannya pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam lahan-lahan di pinggir sungai dan yang berdekatan dengan anak sungai
serta bagian tanaman, hingga yang ini rusak dan orang lain sleamat. Orang-orang
tidak menyewakan kecuali yang seperti itu. Karena itulah beliau mencelanya.
Adapun untuk sesuatu yang diketahui secara jelas dan dijamin, maka tidak
apa-apa.”
Disebutkan pula yang diriwayatkan Ahmad
dan Muslim dari Jabir, dia berkata, “Tadinya kami melakukan muzara’ah pada
zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu kami mendapatkan
bagian dari siswa buah kurma yang sudah dipanen. Lalu Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mempunyai tanah, hendaklah ia
menanaminya atau hendaklah saudaranya mengolahnya. Jika tidak hendaklah dia
membiarkanya.”
Hadits-hadits ini menjadi hujjah
orang-orang yang tidak memperbolehkan muzara’ah. Mereka berpendapat bahwa
muzara’ah itu haram dan bathil. Hadits-hadits ini menguatkan dasar hukum yang
mereka jadikan sandaran untuk pengharaman, bahwa muzara’ah termasuk jenis
sewa-menyewa. Kalaupun menggunakan sewa-menyewa, maka upahnya harus jelas,
karena itu sama dengan harga. Sementara upah untuk muzara’ah ini tidak jelas,
sehingga diharamkan dan tidak sah.
Sedangkan Al-Imam Ahmad Rahimahullah
membolehkannya, dan muzara’ah ini termasuk akad yang sah dan dikuatkan dalil
yang shahih. Sebagian sahabat juga melakukanya, diantaranya Ali bin Abi Thalib,
Sa’ad bin Malik dan Abdullah bin Mas’ud, juga dilakukan generasi sesudahnya
dari kalangan tabi’in, seperti Umar bin Abdul-Aziz, Al-Qasim bin Muhammad,
Urwah bin As-Zubair, Ibnu Sirin, Sa’id bin Al-Musayyab, Thawus, Ax-Zuhri,
Abdurrahman bin Abul Laila, yang juga merupakan pendapat beberapa fuqaha
muhadditsin muta’akhirin ialah Ibnul-Munzir, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Sirin,
Al-Khaththabi, juga merupakan pendpat golongan Zhahiriyah dan rekan-rekan Abu
Hanifah. Menurut an-Nawawi, ini merupakan pendapat pilihan. Orang-orang muslim
di berbagai kota dan zaman juga melakukan muzara’ah. Ibnu Khuzaimah sudah
menulis buku yang membolehkan muzara’ah. Pra fuqaha’ mazhab hambali juga
mengikuti pendapat Al-Imam Ahmad, baik dari kalangan muhaqiq maupun muqalid.
Mereka berpegang kepada muamalah
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan orang-orang Yahudi
Khaibar, dan ini merupakan masalah yang masyhur, tidak dapat ditolak kecuali
oleh takwil. Karena itu semenjak muamalah ini dilaksanakan, terus dilaksanakan,
hingga Umar mengusir orang-orang Yahudi dari Khaibar pada masa khalifahnya,
tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia menghapusnya atau
menggantinya.
Tentang hadits-hadits Rafi’ bin Khadij
yangdijadikan dalil oleh uarang-orang yang menolak dan melarang muzara’ah,
dikomentari pada ulama, karena kerancuan dan tidak seragamnya. Terkadang dia
meriwayatkan larangan dari sebagian pamannya. Terkadang riwayat ini dari Rafi’
bin Zhahir. Di sisi lain dia mendengarnya, lalu dia meriwayatkan larangan
tentang menyewakan tanah. Di sisi lain disebutkan larangan upah. Di sisi lain
larangan membagi hasil dengan sepertiga, seperempat dan makanan yang
disebutkan.
Dengan begitu tampak jelas kerancuan dan
keraguan di dalamnya, sampai-sampai al-Imam Ahmad berkata, “Hadits Rafi’
beraneka macam dan corak.” Para sahabat mengingkari hadits ini, dan Abdullah
bin Umar tidak mengenalnya keculai pada masa khalifah Mu’awiyah. Bagiman
mungkin hukum ini tidak mereka ketahui sementara mereka melakukannya?
Taruhlah bawah hadits ini shahih dan ada
keseragaman, toh para ulama menggapinya dan juga mengomentari hadits jabir,
dengan beberapa jawaban yang cukup memuaskan. Yang lain gbaik ialah
menggbungkan hadits-hdits ini dengan hadits tentang khaibar, bahwa larangan
muzara’ah ini ditakwilil sebatai muzaraah yang bathil, karena di sana ada unsur
gharar dan ketidak jelasan, sehingga mirip dengan untung-untungan atau judi.
Ini merupakan takwil yang terarah. Bahkan dalam sebagai jalur hadits diseutkan
seperti takwil ini,
Karena itulah Ibnu –Akqayyim berkata,
“barangsiapa memperhatikan hadits rafi’ bin Khadij dengan menggabungkan
jalur-jalurnya, mempertimbangkan sebagian dengan sebagian yang lain, mewakili
yang golbal dengan yang rinci, yang tidak terbatas dengan yang terbatas, tentu
akan mengetahui bahwa yang dilarang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
adalah yang jelas kebathilannya yaitu muzaraah yang zhali dan curang.
Rafi’berkata, tadinya kami menyewakan tanah, bahwa kami mendapatkan hasil dari
lahan tertentu, dan mereka mendapatkan hasil dari lahan tertentu lainnya.
Padahal lahan ini hasil dari lahan tetetntu lainnya padahal lahan ini hasilnya
bisa bagus dan lahan lainnya tidak bagus hasilnya.”
Dalam lafazh lain disebutkan, tadinya
orang-orang bisa menyewakan lahn dan tanaman, perkataan Rafi’ slanjutnya,
“Orang-orang tidak menyewakan kecuali yang telah disewakan. Karena itulah
beliau mencelanya. Adapun untuk sesuatu yang diketahui secara jelas dan
dijamin, maka tidak apa-apa.” Merupakan ungkapan yang sangat jelas dalam hadits
Rafi’ dan juga paling shahih, sehingga di sini dapat diketahui mana yang global
dan mana yang rinci. Yang tidak terbatas dan yang terbatas, sehiingga takwil
dilandaskan kepada penafsiran yang jelas ini, baik hukum mapun lafazhnya,
“Begitulah yang dikatakan Ibnul-Qayyim Rahimahullah.
Al-Laits bin Sa’ad berkata, “Yang dilarang
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah masalah yang sekiranya
diperhatikan orang yang mempunyai kepedulian terhadap yang halal dan yang haram
merupakan hal yang memang tidak diperbolehkan, karena di dalamnya ada
kecurangan”.
Menurut Ibnul-Mundzir, berbagai penhabaran
Rafi’ disebutkan dengan beberapa alasan yang menunjukkan bahwa larangan itu
karena pertimbangan alasan-alasan tersebut.
Al-Khaththabi berkata, “Mereka (Abu
Hanifah, Malik dan Asy-Syafi’i) menetapkan berdasarkan zhahir hadits dari
riwayat Rafi’ bin Khadij, dan mereka tidak memperhatikan alasannya seperti yang
dilakukan Ahmad”.
Masih menurut Al-Khaththabi, muzara’ah
dengan bagi hasil separuh, sepertiga, seperempat atau menurut kesepakatan kedua
belah pihak adalah diperbolehkan, asalkan bagi hasil atau upahnya jelas dan tidak ada syarat-syarat
yang bathil. Inilah yang dilakukan orang-orang Muslim di berbagai negeri Islam
dan di segala penjuru dunia, di belahan timur maupun di barat. Tidak pernah
didapatkan atau didengar penduduk suatu negeri atau wilayah yang di sana ada
orang-orang Muslim, yang melarang muzara’ah ini.
Kemudian Al-Khaththabi berkata tentang
hadits Rafi’ biin Khadij tentang sewa-menyewa lahan di pinggir sungai, dia
berktaa, “Saya ingin memberitahukan kepadamu tentang Rafi’ di dalam hadits ini,
bahwa yang dilarang itu ialah yang tidak diketahui dari yang diketahui.
Biasanya mereka memang menetapkan beberapa syarat yang bathil dan meminta
pengecualian dari beberapa tanaman yang berada di pinggir aliran air atau
sungai, sehingga lahan bagian ini khusus bagi pemilik tanah.”
Muzara’ah merupakan persekutuan dan
kemitraan. Bagian penggarap tidak boleh tidak diketahui, sebab hasil di pinggir
aliran air bisa bagus, sementara yang di lahan lainnya tidak bagus, sehingga
akhirnya dia tidak mendapatkan hasil apa pun. Tentu saja ini merupakan
pengecohan dan gharar.
Jika pemilik tanah meminta tambahan
beberapa dirham dari penggarap dari bagian keuntungan yang sudah ditetapkan,
maka bagi hasil itu bathil. Semacam ini dan juga gambaran sebelumnya adalah
bathil.
Dasar bagi hasil dalam muzara’ah dan
musaqat ada dalam As-Sunnah. Lalu bagaimana mungkin cabangnya diperbolehkan,
sedangkan dasarnya dianggap bathil?” begitulah yang dikatakan Al-Khaththabi
Rahimahullah. Ini merupakan pernyataan yang mengarah dengan lafazh yang
singkat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang
dimaksudkan dalam hal ini, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang
persekutuan berupa sewa-menyewa tanah dalam pengertian secara umum, jika
pemilik tanah menteapkan syarat pengkhususan tanaman di lahan tertentu bagi
dirinya. Masalah ini seperti yang dikatakan Al-Laits bin Sa’ad. Dia sudah
menjelaskan apa yang dilarang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, jika
orang yang memiliki perhatian terhadap hal yang halal dan haram, tentu akan
tahu bahwa memang itu adalah diharamkan.
Dengan begitu ada kejelasan bahwa
muzara’ah dan musaqat merupakan dua akad yang sah dan diperbolehkan. Pendapat
yang membolehkannya merupakan pendapat jumhur umat, salaf maupun khalaf, dan
itu merupakan kebiasaan orang-orang Muslim, dahulu maupun sekarang.[11]
D. Rukun dan Syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiah rukun
muzara’ah ialah “akad, yaitu ijab dan
kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah,
perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.
Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:
1. Pemilik
tanah
2. Petani
penggarap
3. Objek
al-muzaraah
4. Ijab
dan qabul secara lisan maupun tulisan
Sementara syarat-syaratnya sebagai
berikut:
1.
Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2. Syarat yang berkaitan dengan tanaman,
yaitu disyaratkan adanya penentuan macam
apa saja yang ditanam.
3. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil
tanaman, yaitu bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya),
hasil adalah milik bersama.
4. Hal yang berhubungan dengan tanah yang
akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas tanah.
5. Hal
yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
6. Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang
digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah.[12]
Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad
telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
1. Petani bertanggung jawab
mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
2. Biaya pertanian seperti pupuk,
biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan
pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
3. Hasil
panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
4. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan
kesepakatan bersama dan apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan
ditempat masing-masing.
5. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum
panen, maka akad tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh
ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris,
apakah akan diteruskan atau tidak.[13]
E.
Manfaat/Faidah Kemitraan
Syaikhul Islam menyatakan, jumhur
mengatakan bahwa persekutuan itu ada dua macam: Persekutuan dalam harta milik
dan persekutuan dalam akad. Persekutuan akad merupakan dasar tersendiri yang
tidak membutuhkan persekutuan harta milik, sebagaimana persekutuan harta milik
tidak membutuhkan persekutuan akad, meski keduanya juga dapat digabungkan.
Bagi hasil merupakan persekutuan akad
menurut ijma’, begitu pula musaqat dan muzara’ah, meskipun sebagian fuqaha’ ada
yang menyatakan bahwa keduanya termasuk sewa-menyewa, yang bertentangan dengan
kias. Yang benar, keduanya merupakan dasar hukum tersendiri yang termasuk bab
persekutuan dan bukan termasuk bab sewa-menyewa. Keduanya juga sejalan dengan
kias tentang persekutuan.[14]
BAB III
KSIMPULAN
Muzara’ah merupakan salah satu bentuk kemitraan
yaitu kerja sama antara pemilik lahan atau pemilik modal dengan pekerja dalam
menelola lahan, bibit dan pupuk dari si pengelola dengan memperoleh sebagian
dari hasil.
Muzara’ah merupakan bentuk kemitraan dengan pemilik
lahan bentuk kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dengan
penggara, dengan benih tanaman dan biaya garapan dari pihak penggarap, hasilnya
kemudian dibagi berdasarkan kesepakatan.
Kejujuran dan keadilan sangat
diperlukan dalam bekerja sama karena hal tersebut merupakan tantangan dalam
bermitra, karena akan membawa
keselamatan dunia dan akhirat.
Diterapkannya sistem muzara’ah
snagt berdampak pada pertumbuan sosial ekonomi dalam masyarakat seperti saling
tolong menolong. Dapat meningkatkan penghasilan kedua belah pihak yang bekerja
sam, dan dapat meningkatkan produksi alam negeri, sehingga dapat mendorong
pembangunan sektor rill yang menopang perumbuhan ekonomisecara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
al-Jaziri, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah
Abu Dawud, juz 3
Al- Bukhari, juz
2
Al-Kahlani, juz.
3 dan Al-Syaukani, juz. 5
Al-Syaukani, juz
5
Al-Tirmizi
Hussein Khalid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih
Muslim, Surabaya: Al-Ikhlas, 1987
Ibnu Majah, juz
2
Kamaluddin Laode, Rahasia Bisnis Rasulullah, Semarang:
Wisata Ruhani Pesantren Basmala, 2007
Muslim juz 3
Nasreon Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000
Pasaribu
Chairuman, Hukum Perjanjian Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996
Suhendi Hendi, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
[1] Sanad hadis ini Abu Dawud dari Muhammad
bin Sulaiman dari Muhammad ibn al-Zubirqan dari Abi Hibbah al-Timi, dari
ayahnya Abu Hirairah. Abu Dawud, juz 3, hlm. 256
[2] Al-Kahlani, juz. 3, hlm.64 dan
Al-Syaukani, juz. 5, hlm.361
[3] Al-Syaukani, ibid., juz 5.
[4] Ibnu Majah, juz 2, hlm.768
[5]Laode Kamaluddin, Rahasia Bisnis
Rasulullah, ( Semarang: Wisata Ruhani Pesantren Basmala, 2007) hlm. 45
[6] Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh ‘Ala
Madzahib al-Arba’ah, hlm 1
[7] Al- Bukhari, juz 2, hlm 882 dan Muslim juz 3, hlm. 1186, al-Tirmizi, hlm.
421
[8] Al-Syaukani, juz 6, hlm. 9
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm. 153
[11] Hussein Khalid Bahreisj, Himpunan
Hadits Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), hlm. 173-174
[12] Suhendi, Fiqh Muaalah..., hlm.
158-159
[13]Haroen Nasreon, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 278
[14]Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian
Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm 63
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Baca ->>